Senin, 26 Maret 2012

Pengembangan Berbagai Disiplin Keilmuan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini, kiblat ilmu dan teknologi adalah Barat. Agar umat Islam menjadi umat yang maju dan kompetitif, maka umat Islam harus menuntut, menyerap, mempelajari, dan menguasai ilmu dan teknologi tersebut kepada bangsa Barat.
Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang dewasa ini sedang berkembang pesat di dunia Barat. Psikologi telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam membantu manusia untuk memecahkan berbagai problema dan menyimak misteri hidup dan kehidupannya.
Melihat sumbangan psikologi yang demikian besar, maka psikologi adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh umat Islam. Tetapi sebagai ilmu yang dibangun dan dikembangkan dalam budaya Barat yang sebagian berbeda dengan budaya Islam, maka sangat mungkin kerangka pikir (mode of thought) psikologi dipenuhi oleh pandangan-pandangan atau nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang sebagian besar berbeda, dan mungkin sangat bertentangan, dengan pandangan atau nilai-nilai Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengembangan Berbagai Disiplin Keilmuan?
2.      Bagaimana Pandangan Filsafat Pendidikan Islam tentang Pengembangan Berbagai Disiplin Keilmuan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengembangan Berbagai Disiplin Ilmu
Dalam dunia pendidikan, banyak sekali disiplin-disiplin ilmu[1]. Namun ada satu disiplin ilmu yang harus kita pelajari terlebih dahulu sebelum mempelajari disiplin ilmu yang lainnya yaitu psikologi. Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang amat penting dipelajari. Namun sebagian besar teori psikologi berasal dari Barat, jadi besar kemungkinan kerangka pikir psikologi dipenuhi oleh pandangan dan nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang sebagian besar berbeda, dan mungkin sangat bertentangan dengan pandangan dan nilai-nilai Islam. Timbul kekhawatiran, jika psikologi Barat diserap tanpa hati-hati, maka akan merusak ideologi umat Islam. Banyak teori psikologi Barat yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan pandangan Islam[2].
Objek kajian psikologi adalah manusia, Karena itu hal yang mendasar dan pertama kali dibicarakan oleh didisiplin ilmu ini adalah tentang hakikat manusia, oleh sebab itu uraian ini hanya dibatasi pada pembahasan tentang hakikat manusia menurut perspektif Islam.
B.     Disiplin Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Berbicara psikologi, maka hal yang paling mendasar dan pertama-tama dibahas adalah pandangannya terhadap hakikat manusia. Oleh sebab itu, uraian ini mencoba membahas hakikat manusia menurut perspektif Islam.
1.      Hakikat Manusia Dalam Perspektif Islam
Dari sudut pandang psikologi, pandangan tentang hakikat manusia mengarah pada sifat-sifat manusia (human nature), yaitu sifat-sifat khas (karakteristik) segenap umat manusia[3]. Hakekat manusia yang dimaksud dalam kajian ini ialah sesuatu yang esensial dan merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.
Para pemikir Islam seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd menyatakan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur, yaitu unsur yang bersifat materi (jasmani) dan unsur yang bersifat immateri (rohani)[4]. Pernyataan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur mengan-dung makna bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu totalitas yang tidak bisa dipisah-pisahkan, atau dengan kata lain tidak bisa dikatakan sebagai manusia jika salah satu diantara dua unsur tersebut tidak ada. Namun pembahasan ini hanya difokuskan pada unsur immateri (rohani) saja.
Istilah yang sering disebut dalam Al-Quran untuk menggambarkan unsur manusia yang bersifat rohani adalah ruh dan nafs.
a.      Ruh
Dalam surah al-Hijr ayat 28-29 Allah berfirman :
واذ قال ربك للملائكة اني خالق بشرا من صلصال من حما مسنون...فاذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له سجدين...

 Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud[5].”
Sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas, ruh adalah unsur terakhir yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, dengan demikian dapat diambil pemaha-man bahwa ruh adalah unsur yang sangat penting karena merupakan unsur terakhir yang menyempurnakan proses penciptaan manusia. Ruh juga dikatakan sebagai bagian unsur yang mulia, hal ini tersirat dari perintah Allah kepada para malaikat (termasuk pula iblis) untuk sujud kepada manusia sebagai tanda penghormatan setelah dimasukkannya unsur ruh.
Apakah ruh itu?. Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Rasulullah saw sebagaimana yang tergambar dalam surah al-Isra’ ayat 85 sebagai berikut:
ويسئلونك عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم الا قليلا

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”[6].
Ayat di atas menyiratkan bahwa pengetahuan manusia tentang ruh sangat terbatas sehingga tidak mungkin dapat mengetahui hakikat ruh secara detail. Sekalipun ayat di atas menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak akan mencapai pemahaman yang rinci tentang hakikat ruh, tetapi tidak satupun terdapat ayat Alquran yang menghalangi atau melarang para ulama atau cendikiawan muslim untuk berusaha memahami hakikatnya. Pintu untuk menyelidiki tentang hakikat ruh masih terbuka dengan selebar-lebarnya.
Dalam memahami sifat-sifat ruh, ada beberapa ulama dan para sarjana muslim yang mencoba memahaminya dengan berpijak pada disiplin ilmunya masing-masing, mereka di antaranya sebagai berikut:
Al-Qayyim, dan Al-Raz, berpendapat bahwa ruh adalah suatu jisim (benda) yang sifatnya sangat halus dan tidak dapat diraba. Ruh merupakan jisim nurani yang tinggi dan ringan, hidup dan selalu bergerak menembus dan menjalar ke dalam setiap anggota tubuh bagaikan menjalarnya air dalam bunga mawar. Jisim tersebut berjalan dan memberi bekas-bekas seperti gerak, merasa, dan berkehendak. Jika anggota tubuh tersebut sakit dan rusak, serta tidak mampu lagi menerima bekas-bekas itu, maka ruh akan bercerai dengan tubuh dan pergi ke alam arwah.
Al-Ghazali membagi ruh dalam dua pengertian[7]. Pertama, ruh yang bersifat jasmani yang merupakan bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus yang bersumber dari relung hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak, serta merasakan ber-bagai rasa. Ruh ini dapat diibaratkan sebuah lampu yang mampu menerangi setiap sudut ruangan (organ tubuh). Ruh sering pula diistilahkan dengan nafs (nyawa). Kedua, ruh yang bersifat rohani yang merupakan bagian dari rohani manusia yang sifatnya halus dan gaib. Ruh ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya, dan memperoleh serta menguasai ilmu yang bermacam-macam. Ruh pula yang menyebabkan manusia berpri-kemanusiaan dan berakhlak sehingga menjadikannya berbeda dengan binatang.
Ansari menyatakan[8], salah satu kapasitas khusus yang hanya dimiliki oleh manusia tidak dimiliki oleh makhluk lain disebabkan karena adanya ruh adalah kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan yang luas. Pernyataan Ansari tersebut didasarkan pada Alquran surah al-Baqarah ayat 31 sebagai berikut:
وعلم أدم الاسماء كلها
Artinya: Dan Dia (Allah) mengajarkan Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya[9]
Adam diajarkan oleh Allah swt berbagai nama-nama benda setelah unsur ruh ditiupkan kedalam tubuhnya, hal ini menyiratkan bahwa keberadaan unsur ruh menyebabkan manusia mempunyai kemampuan untuk menerima dan memperoleh pengetahuan yang luas.
b.      Nafs
Ruh dan nafs hakikatnya sama, diberi istilah yang berbeda adalah untuk membedakan sifat dan fungsinya masing-masing. Menurut Amjad, istilah ruh hanya digunakan untuk menunjukkan unsur rohani manusia pada tingkatan yang lebih tinggi dari nafs, ruh dipandang sebagai dimensi khas insani yang merupakan sarana gaib untuk menerima petunjuk dan bimbingan Tuhan, serta mempunyai kesadaran tentang adanya Tuhan, sedangkan istilah nafs digunakan untuk menggambarkan unsur rohani manusia yang mengandung kualitas-kualitas insaniyah atau kemanusiaan.
Dalam Alquran ditemukan tiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs, yaitu al-nafs al-mutma’innah seperti yang terdapat dalam surah al-Fajr ayat 27, al-nafs al-lawwamah seperti yang terdapat dalam surah al-Qiyaamah ayat 2, dan al-nafs laammaratun bi as-suu’ seperti yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 53. Ketiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs tersebut menyiratkan adanya tiga buah pembagian kualitas unsur rohani yang terdapat pada manusia.
Al-nafs al-mutma’innah secara etimologi berarti jiwa yang tenang, dinamakan jiwa yang tenang karena dimensi jiwa ini selalu berusaha untuk meninggalkan sifat-sifat tercela dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik sehingga memperoleh ketenangan. Dimensi jiwa ini secara umum dinamakan qalb atau hati.
Al-nafs al-lawwamah secara literlik berarti jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri, maksudnya bila ia telah berbuat kejahatan maka ia menyesal telah melakukan perbuatan tersebut, dan bila ia berbuat kebaikan maka ia juga menyesal kenapa tidak berbuat lebih banyak. Dimensi jiwa ini dinamakan oleh para filosof Islam sebagai ‘aql atau akal.
Al-nafs laammaratun bi al-su’ secara harfiah berarti jiwa yang memerintah kepada kejahatan, yaitu aspek jiwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat jahat dan selalu mengejar kenikmatan. Menurut para kaum sufi, dimensi jiwa ini dinamakan sebagai hawa atau nafsu[10].
Dari pendapat beberapa ulama dan sarjana muslim di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun Alquran menggunakan istilah yang berbeda-beda dalam menggambarkan unsur rohani manusia, yaitu ruh dan nafs, namun unsur-unsur rohani tersebut hakikatnya satu, disebut dengan istilah yang berbeda adalah untuk membedakan sifat-sifat rohani manusia. Keberadaan unsur rohani tersebut menyebabkan ma-nusia dapat hidup dan bergerak, berpikir, merasa dan menyadari keberadaan dirinya, bahkan menyadari akan keberadaan sesuatu yang menciptakan dirinya, yaitu Tuhan.
c.       Qolbu
Menurut Ahmad dan Mujib, qalb adalah istilah dari al-nafs al-mutma’innah yang digunakan di dalam Alquran untuk menggambarkan salah satu unsur potensi rohani yang dimiliki oleh manusia. Istilah qalb dapat dijumpai antara lain di dalam Alquran surah al-Hajj ayat 46 sebagai berikut:
أفلم يسيروا في الارض فتكون لهم قلوب يعقلون بها أو أذان يسمعون بها فانها لا تعمى القلوب التي في الصدور.

Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada[11].
Di samping Alquran surah al-Hajj ayat 46 di atas dapat pula dijumpai pada Hadis Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:
ان فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب
Artinya: Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baik pula semua tubuhnya, dan jika ia rusak maka rusak pula semua tubuhnya, ingatlah! itulah yang dinamakan hati atau qalb[12].
Berdasarkan keterangan Alquran surah al-Hajj ayat 46 dan Hadis Rasu-lullah saw tersebut di atas, dapat diambil pemahaman bahwa qalb mempunyai arti fisik dan arti metafisik. Al-Ghazali menyatakan[13], pengertian qalb menurut arti fisik adalah segumpal daging berbentuk lonjong yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri yang terus menerus berdetak selama manusia masih hidup. Qalb dalam pengertian fisik ini berfungsi untuk mengatur jalannya peredaran darah ke dalam seluruh tubuh. Qalb seperti ini terdapat pada manusia dan juga pada binatang. Adapun pengertian qalb secara metafisik, menurut Bastaman, menunjuk kepada hati nurani atau suara hati.


d.      ‘Aql
Secara etimologi ‘aql, menurut Rasyidi dan Cawidu berarti mengikat atau al-ribath, menahan atau al-imsak, melarang atau al-nahy, dan mencegah atau man’u. Berdasarkan mak-na bahasa ini, Mujib berpendapat bahwa yang disebut orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mampu menahan dan mengikat dorongan-dorongan nafsunya, jika nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi sehingga manusia dapat menghindari perbuatan buruk atau jahat[14].
‘Aql, ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi akal dengan arti yang umum yaitu pikiran. Akal adalah subtansi yang bisa berpikir, dengan kata lain, ber-pikir adalah cara kerja dari akal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal identik dengan pikiran, atau ratio dalam bahasa Latin, atau budi dalam bahasa Sansekerta, atau reason dalam bahasa Inggris.
Mengutip pendapat Al-Husain, Mujib menyatakan bahwa akal mem-punyai dua makna, yaitu: (1) akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini yang biasanya disebut dengan otak (al-dimagh), (2) akal ruhani, yaitu suatu kemampuan jiwa yang dipersiapkan dan diberi kemampuan untuk mem-peroleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat)[15].
Dalam Islam, akal diakui sebagai salah satu sarana yang sangat penting bagi manusia, bahkan diakui merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Alquran dan Hadis yang diistilahkan dengan ijtihad.
Meskipun akal mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat penting, namun akal bukan merupakan faktor utama yang dapat menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling baik dan mulia, sebab akal tidak dapat menentukan dan menetapkan kebenaran tanpa adanya bimbingan syari’at (hukum agama) dan iman yang bersumber dari hati (qalb). Akal mampu untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada, namun akal tidak mampu mengantar manusia untuk merasa dekat dengan Tuhannya, yang mampu mendekati Tuhan adalah rasa yang menggunakan qalb sebagai sarananya. Di sampig itu, kebenaran yang diperoleh dari akal bersifat nisbi atau relatif sebagaimana yang diakui oleh para ilmuwan dan filosof.
e.       Hawa
Secara literlik hawa berarti menuruti kehendak. Hawa sering pula diistilahkan dengan syahwat yang berarti nafsu, selera, atau keinginan[16]. Dalam bahasa Indonesia, hawa atau syahwat diistilahkan dengan nafsu atau hawa nafsu.
Nafsu merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, dengan nafsu manusia bisa menikmati segala keindahan dan kenikmatan yang terdapat di alam ini, nafsu mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidup yang lebih baik, dan nafsu pula yang mendorong manusia untuk hidup berkeluarga dan berketurunan. Dalam surah Ali Imran ayat 14 Allah swt berfirman:
زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والانعام والحرث ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن المأب.
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat yang baik.
Berdasarkan surah Ali Imran ayat 14 di atas, Al-Falimbani dan Muhammad membagi nafsu menjadi dua macam[17], yaitu nafsu seksual (syahwatul faraj) dan nafsu perut (syahwatul bathni). Nafsu seksual mendorong dan menyebabkan umat manusia berkembang dan berketurunan, sedang nafsu perut mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidupnya yang lebih layak.
Disamping nafsu seksual dan nafsu perut, Al-Ghazali menyebutkan bahwa terdapat pula nafsu marah/angkara murka (ghadlab). Nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan apa saja atau menentang apa saja yang dianggap mengancam dan merugikan dirinya.
Secara psikologis, jika seorang manusia sekali melakukan kebaikan atau kejahatan, maka kesempatannya untuk mengulangi perbuatan yang serupa semakin ber-tambah, sebaliknya, untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin berkurang, dengan terus menerus melakukan kebaikan atau kejahatan, maka seorang manusia hampir tidak dapat melakukan perbuatan yang berlawanan, bahkan untuk sekedar memikirkannya [18], dengan demikian, jika manusia selalu menuruti hawa nafsunya yang selalu mendorong kepada perbuatan jahat, maka hati nurani (qalb) serta penglihatannya (‘aql) akan “tertutup”
Uraian tentang nafsu di atas menyiratkan bahwa apabila nafsu bekerja di bawah kontrol dan kendali hati dan akal, maka nafsu akan memberikan manfaat dan kebahagiaan kepada manusia, sebaliknya jika dorongan-dorongan nafsu terlalu kuat menguasai manusia sehingga hati dan akal tidak mampu mengontrol dan mengendalikannya, maka manusia akan tersesat dan celaka, nafsu seksual dan nafsu perut yang tidak terkendali akan menimbulkan “kerakusan”, sedang nafsu marah yang tidak terkendali akan menimbulkan “kebuasan”.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
v  Dari urain atau penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa salah satu disiplin ilmu yang paling penting dan yang paling utama untuk di kaji adalah disiplin ilmu tentang manusia atau humanistic atau sering disebut dengan psikologi. Hanya saja kajian tetang psikologi (manusia) di atas di batasi dengan sudut pandang yang bernuansa islam. Jadi, sumber utamanya adalah Al Qur’an dan Hadits.
v  Menurut Perspektif Islam, hakikat manusia itu bisa di uraikan menjadi 5 element yang terdiri Ruh, Nafs, Qolbu, ‘Aql, dan Hawa. Ke lima element tersebut ada saling keterkaitannya. Ada 2 element yang sebenarnya hakikatnya sama, namun masih di perinci, karena di situ ada perbedaan sendiri, 2 element tersebut adalah Ruh dan Nafs

DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, J. P. 1997. Kamus lengkap psikologi. Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Al-Ghazali. 1984. Ihya Al-Ghazali. Terjemahan Ismail Yakub. Jakarta: CV. Faizan.

Bukhari. 1979. Shahih Al-Bukhariy, Juz I. Istambul, Turki: Al-Maktabah Al-Islami.
Fazlurrahman.1996. Tema pokok Alquran. Terjemahan Anas Mahyudin. Bandung: Penerbit Pustaka.
Mujib, A.1999. Fitrah & kepribadian Islam: Sebuah pendekatan psikologis. Jakarta: Darul Falah.
http://psikologip.blogspot.com/2011/12/d-latar-belakang-dikotomi-filsafat.html



[1] http://psikologip.blogspot.com/2011/12/d-latar-belakang-dikotomi-filsafat.html
[2] Chaplin, J. P. Kamus lengkap psikologi. Terjemahan Kartini Kartono.(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada:1997)
[3] Chaplin, J. P. Kamus lengkap psikologi. Terjemahan Kartini Kartono.(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada:1997).hal 231

[4] Muhaimin, & Mujib. Pemikiran pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalisasinya. (Bandung : Trigenda Karya:1993)
[5] Al Quran Al KArim, Surat AL Hijr, 28-29
[6] Al Quran Al Karim, Surat Al Isro’.85
[7] Al-Ghazali. Ihya Al-Ghazali. Terjemahan Ismail Yakub.( Jakarta: CV. Faizan:1984)

[8] Ansari. Qur’an-psychology.( Islamabad: Islamic Research Institute Press:1992)
[9] Al Quran Al Karim, Surat Al Baqoroh, 31
[10] Mujib, Fitrah & kepribadian Islam: Sebuah pendekatan psikologis. (Jakarta: Darul Falah:1999)
[11] Al Quran Al Karim. Surat Al Hajj, 46
[12] Bukhari. Shahih Al-Bukhariy, Juz I. Istambul, (Turki: Al-Maktabah Al-Islami1979). Hal.19

[13] Al-Ghazali. Ihya Al-Ghazali. Terjemahan Ismail Yakub. (Jakarta: CV. Faizan:1984)

[14] Mujib. Fitrah & kepribadian Islam: Sebuah pendekatan psikologis. (Jakarta: Darul Falah:1999)
[15] Mujib, Fitrah & kepribadian Islam: Sebuah pendekatan psikologis. (Jakarta: Darul Falah:1999)

[16] Kamus Al Munawir:801
[17] http://psikologip.blogspot.com/2011/12/d-latar-belakang-dikotomi-filsafat.html
[18] Fazlurrahman. Tema pokok Alquran. Terjemahan Anas Mahyudin.( Bandung: Penerbit Pustaka:1996)

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates