Pengertian perkawinan dapat disejajarkan dengan pengertian pernikahan. Dalam hal nikah, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa ”nikah” ialah ikatan janji cinta antara dua jenis kelamin, yang bertemu dalam hatinya. Dalam pengertian cinta, ada dua unsur yaitu saling ”menyayangi” dan tarik-menarik karena ”birahi”. Di dalam gejala birahi terdapat unsur seks, yang selalu ada pada setiap manusia yang normal. Seks ialah energi psikis, yang mewujudkan diri dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk hubungan antar manusia sebagai pria dan wanita.
Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami isteri berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku (Dadang Hawari, 2006: 58). Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Atas dasar pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan atau pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri atas dasar cinta dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
1. Pengertian Konseling Perkawinan
Konseling perkawinan yang memiliki istilah lain: couple counseling, marriage counseling, dan marital counseling, merupakan konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode membantu partner-partner yang menikah untuk memecahkan masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik. Konseling perkawinan merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh konselor kepada individu atau sekelompok individu klien, yang dimungkinkan akan atau sedang mengalami sesuatu masalah yang berhubungan dengan hidup sebagai pasangan suami-isteri, yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapinya.
Konseling perkawinan bebeda dengan konseling pranikah dan konseling keluarga. Konseling pranikah (premarital counseling) merupakan konseling yang diselenggarakan kepada pihak-pihak yang belum menikah, sehubungan dengan rencana pernikahannya, seperti: dalam rangka membuat keputusan agar lebih mantap dan dapat melakukan penyesuaian di kemudian hari secara lebih baik Sedangkan konseling keluarga (family counseling) secara umum dibatasi sebagai konseling yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga, seperti: hubungan peran di keluarga, masalah komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga, ketegangan orang tua-anak, dan lain-lain. Pemecahan masalah yang dialami oleh anggota keluarga perlu adanya keterlibatan anggota keluarga lainnya. Sementara konseling perkawinan lebih menekankan pada masalah-masalah pasangan suami-isteri.
Membedakan secara sangat ketat antara konseling perkawinan dan konseling keluarga adalah tidak gampang, dan oleh karenanya dalam kajian ini ada kemungkinan menyentuh wilayah konseling keluarga. Yang jelas, pemecahan masalah-masalah baik yang dialami oleh pasangan suami-isteri maupun yang dialami oleh anggota keluarga, adalah menggunakan pendekatan konseling. Pendekatan konseling bercirikan pemecahan masalah yang ditempuh melalui komunikasi dua arah (two way traffic) antara konselor dengan klien, dan bukan satu arah (one way traffic) seperti dalam kepenasihatan.
Konseling perkawinan diselenggarakan tidak dimaksudkan untuk mempertahankan suatu pasangan. Konselor perkawinan menyadari betul bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk menentukan apakah suatu pasangan suami-isteri harus bercerai atau tidak. Tujuan konseling perkawinan adalah membantu klien-kliennya untuk mengaktualisasikan yang menjadi perhatian pribadi, apakah dengan jalan bercerai atau tidak membantu klien membuat keputusannya sendiri bercerai atau tidak, dan konselor bertanggung jawab membantunya berfikir secara rasional, dan oleh karenanya klien dapat hidup dengan keputusan yang dibuatnya.
Dalam dunia Konseling, dihadapkan pada dua pilihan : Konseling Kuratif dan Konseling Preventif. Konseling Preventif merupakan suatu proses pendampingan dalam menjalani hidup sehingga bisa mengambil keputusan bijaksana atas berbagai pilihan dalam hidup. Misal diperhadapkan pada pilihan 2 tawaran karier atau pada bagaimana hendak memutuskan memilih pendamping hidup. Sedangkan Konseling Kuratif adalah suatu proses pemulihan dari situasi saat ini dimana seseorang merasa tidak nyaman atau bahkan sudah sampai tahap kesusahan yang mendalam yang terkadang sudah seperti benang kusut yang melilit kehidupan dan sudah merasa tidak berdaya untuk meluruskannya. Khususnya dalam konseling pernikahan dimana konflik rumah tangga merupakan hal yang tidak terhindarkan. Konflik antara keduabelah pihak pasangan suami istri menjadi hal yang sukar diselesaikan oleh pihak yang berkonflik apalagi jika sudah melibatkan pihak lain.
Konselor Profesional membantu klien melihat persoalan yang hadapi kini secara jelas. Menggali penyebab persoalan, membimbing klien menemukan jalan keluar dan menuntun klien pada kejelasan duduk persoalan dan apa yang harus klien lakukan untuk memperbaiki hidup. Dengan berbagai tantangan hidup yang dihadapi, cerdaslah menghadapi hidup. Dengan didampingi oleh Konselor Profesional klien akan terhindar dari semakin banyak kesulitan dan terbekali dengan kemampuan untuk melihat persoalan secara jelas sehingga mampu untuk menguraikan segala persoalan dan menemukan jalan keluarnya.[1]
2. Proses Konseling dan Terapi
Dalam proses konseling, permasalahan dipaparkan dan diungkapkan secara berimbang antara suami dan istri. Tak jarang, proses ini melibatkan anamnesa (penggalian informasi) dengan orang-orang terdekat mereka, demi memperoleh sudut pandang situasi yang berbeda. Pertanyaan tentang siapa yang pertama kali memulai menjadi tidak penting lagi. Yang paling penting, konsentrasi harus dipusatkan kepada siapa yang mau dan mampu berubah terlebih dahulu. Sering terjadi, masalah yang sedemikian berakar menghimpun kesedihan dan amarah, telah membuat masing-masing terluka dan enggan untuk mengambil inisiatif perubahan, yang mungkin akan memberikan tingkat kesulitan tertentu pada proses selanjutnya, yaitu proses terapi. Maka pasangan suami istri perlu menentukan pilihan dan membuat komitmen; mau menjalani konseling dan terapi secara konsisten atau tidak, mau belajar merubah perilaku diri atau tidak, mau menerima segala kelebihan dan kelemahan pasangan atau tidak. Umumnya pada tahap ini, sebagian besar pasangan suami istri masih sering mengatakan hal yang tidak sesuai dengan kata hati sebenarnya, karena masih dipengaruhi faktor emosional, hati masih dipenuhi amarah, dendam, kecewa, sedih dan putus asa. Kepekaan kritis dari psikolog sebagai konselor perkawinan untuk mengetahui kondisi hati yang sebenarnya dari pasangan ini sangat diperlukan demi keberhasilan terapi.
Dalam proses terapi, pembenahan diri dilakukan, berbagai fakta ditemukan dan diluruskan kembali. Semua label dibuang, dikembalikan kepada asal muasal ketika cinta mulai bersemi. Komitmen hidup ditegakkan, kesehatan jiwa dan pikiran diperhatikan, struktur kepribadian yang berbeda dipertemukan pada satu titik yang dapat diterima ke dua belah pihak. Tidak ada menang dan kalah, tidak ada superior dan inferior, tidak ada pengaruh dari luar lagi ikut membebani. Yang ada hanya keputusan untuk menerima masing-masing apa adanya. Saling menyadari bahwa masing-masing adalah dua individu yang berbeda, dengan latar belakang pribadi yang berbeda, sebagai produk keluarga yang berbeda, menghasilkan cara berpikir dan jiwa yang berbeda, sekarang apakah mau terus mempertahankan perkawinan atau menyerah saja.
Apapun yang dipilih, seyogyanya suami dan istri harus tetap mampu mempertahankan keseimbangan pribadinya, lepas dari segala macam gangguan fisik dan mental, menjalani kehidupan dan masa depan yang lebih cerah dan menjanjikan. Masing-masing berkomitmen untuk menjadi individu yang menyenangkan bagi pasangannya, menghindari sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan apalagi menyakitkan. Maka diharapkan konflik dapat berangsur-angsur berkurang, dan mereka mampu menjalankan hidup berkeluarga secara harmonis dan bahagia.
Peran konselor perkawinan dengan latar belakang psikologi klinis dewasa memang sangat kuat untuk membimbing dan mendampingi para klien agar mampu mengatasi masalah kehidupannya dan menjadi pribadi yang sehat jiwa raga, terutama karena umumnya konflik semacam ini melibatkan gangguan psikologis yang tidak ringan, seperti temperamental, cemas, depresi, ingin bunuh diri dan lain-lain.
Namun peran klien juga tidak kalah pentingnya sebagai individu yang tergerak untuk memiliki pribadi yang tegar dan mampu menentukan pilihan atas 12 topik penting di bawah ini:
1. Apakah komponen kehidupannya layak untuk mendapat kesempatan menjalani hidup yang lebih baik.
2. Apakah ia mau memelihara elemen tubuh, pikiran & jiwa, dan spiritualnya.
3. Apakah ia mau memperbaiki struktur id, ego, superegonya.
4. Apakah ia mau mengenali elemen kesadaran, bawah sadar dan ketidaksadarannya.
5. Apakah ia mau meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritualnya.
6. Apakah ia mau memperbaiki rekaman-rekaman ingatannya.
7. Apakah ia mau mengendalikan perilakunya, terutama berpikir dan merasa.
8. Apakah ia mau mengendalikan pikiran-pikiran “devil”nya agar menyerah pada pikiran-pikiran “angel”nya.
9. Apakah ia mau menentukan kehendak dan membuat sebuah keputusan yang tepat melampaui ’nature’ dan ’nurture’nya.
10. Apakah ia mau berkonsentrasi pada masa kini untuk merubah masa depan.
11. Apakah ia mau meningkatkan usaha untuk merubah nasibnya.
12. Apakah ia sudah siap untuk menjadi (seperti) Kupu-kupu?.[2]
Dalam konseling perkawinan, konselor membantu klien (pasangan) untuk melihat realitas yang dihadapi, dan membantu membuat keputusan yang tepat bagi keduanya. Keputusannya dapat berbentuk menyatu kembali, berpisah, cerai; dalam rangka mencari kehidupan yang lebih harmonis, dan menimbulkan rasa aman bagi keduanya. Huff dan Miller, mengemukakan bahwa tujuan jangka panjang daripada konseling perkawinan adalah: (1) meningkatkan kesadaran dirinya dan dapat saling empati di antara pasangan. (2) meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing. (3) meningkatkan sikap saling membuka diri. (4) meningkatkan hubungan yang lebih intim. (5) mengembangkan ketrampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan mengelola konfliknya.
Sesuai dengan pengertian dan tujuan konseling perkawinan tersebut, berikut ini konselor perkawinan menyampaikan pandangannya dan pandangan-pandangan lain seputar bagaimana menciptakan hubungan suami-isteri atau keluarga yang harmonis, serta mengatasi masalah berkaitan dengan ketidak harmonisan hubungannya sebagai suami-isteri dan ketidak sehatan perilaku seksualnya secara garis besar.
Pada dasarnya suatu perkawinan tidak akan terelakkan dari konflik. Adalah wajar dalam suatu perkawinan terjadi pertengkaran antara suami dengan isteri. Di samping nilai negatifnya, pertengkaran suami-isteri terdapat juga nilai positifnya. Beberapa terapis perkawinan, menekankan bahwa memang dalam situasi yang tepat, pertengkaran dapat memproduksi kedekatan yang lebih di antara pasangan. Beberapa terapis perkawinan tersebut menyarankan beberapa cara untuk mengatasi konflik secara adil dan produktif, sebagai berikut:
- Hendaknya pasangan mengungkapkan keluhan secara spesifik dan meminta pasangannya untuk melakukan perubahan-perubahan perlakuan dan tingkah laku yang memang bisa diubah agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Untuk itu, pasangan harus mengungkapkan keurutan isu-isu tertentu yang pasti pada waktu yang tepat.
- Pasangan hendaknya memahami diri masing-masing, dengan mencoba meminta dan memberikan umpan balik dari pasangannya.
- Pasangan tidak dibenarkan untuk membuat keputusan tentang karakteristik spesifik tertentu pasangannya, misalnya: ”Kamu keras kepala”, ”Kamu pembohong”. Pasangan juga tidak dibenarkan membuat keputusan seolah pasangannya tidak mungkin untuk konsisten terhadap kesepakatan yang telah ditentukan oleh pasangan, apalagi dengan kata-kata yang mengandung unsur sarkastik.
- Pasangan hendaknya mengkomunikasikan hal-hal yang terjadi, di sini dan pada saat ini, sehingga tidak akan terkomplikasi dengan muatan-muatan perilaku negatif dan kesusahan-kesusahan terdahulu yang telah terjadi pada masa lalu, atau bahkan menyertakan keluhan-keluhan yang tidak relevan dengan masalah aktual yang saat ini dan pada waktu ini terjadi.
- Pasangan hendaknya mempertimbangkan kemungkinan untuk selalu mencari jalan kompromi, karena tidak akan pernah menjadi pemenang tunggal dalam argumentasi yang jujur di antara pasangan perkawinan. Dalam hal ini, pasangan harus mengingat bahwa mereka adalah satu tim dan bukan dua kelompok yang berbeda dan terpisah.
- Pasangan harus trampil untuk berkomunikasi dengan penuh empati sehingga mampu memahami sudut pandang pasangannya. Pasangan hendaknya memiliki optimisme bahwa akan selalu dapat dicapai satu jalan terbaik bagi penyelesaian konflik yang mereka hadapi.
Kita semua baik yang sudah menikah maupun yang baru akan menikah pasti menginginkan pernikahan/perkawinan kita mencapai hubungan perkawinan yang sehat dan bahagia. Untuk itu perlu adanya pegangan atau kriteria yang jelas untuk perwujudannya. Adapun pegangan atau kriteria menuju hubungan perkawinan yang sehat dan bahagia, atau keluarga yang harmonis, adalah sebagai berikut:
- Kehidupan beragama dalam keluarga. Ciptakan kehidupan beragama dalam keluarga, sebab dalam agama terdapat nilai-nilai moral atau etika kehidupan. Landasan utama dalam kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama ialah kasih sayang. Cinta mencintai dan kasih mengasihi berarti silaturahmi tidak terputus, tetapi diperbaiki dan dikembangkan. Hasil penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keluarga yang tidak religius, yang komitmen agamanya lemah, dan keluarga yang tidak mem¬punyai komitmen agama sama sekali, mempunyai resiko empat kali untuk tidak berbahagia dalam keluarganya.
- Waktu bersama keluarga. Waktu untuk bersama keluarga itu harus ada. Menciptakan suasana kebersamaan dengan unsur keluarga itu penting. Untuk memelihara perkawinan itu sendiri, seorang suami harus menyempatkan waktu untuk isterinya. Berdua saja, tidak dengan anak-anak lagi pergi ke mana saja secara pribadi.
- Hubungan yang baik antar anggota keluarga. Harus diciptakan hubungan yang baik antara anggota keluarga. Harus ada komunikasi yang baik (timbal balik), demokratis. Ayah dan ibu dituntut untuk menciptakan suasana yang komunikatif dan demokratis.
- Saling harga menghargai antar anggota keluarga. Seorang anak perlu menghargai sikap ayahnya, begitu juga ayah bisa menghargai prestasi anak atau sikap anak. Seorang isteri menghargai sikap suami dan sebaliknya suami menghargai sikap isteri.
- Hubungan yang erat dalam keluarga. Hubungan antara ayah, ibu, dan anak harus erat dan kuat. Jangan longgar dan rapuh. Hubungannya harus menghasilkan keadaan dekat di mata dekat dihati. Setidaknya jauh di mata dekat di hati, dan bukannya dekat di mata jauh di hati atau jauh di mata jauh di hati.
- Keutuhan keluarga. Jika keluarga mengalami krisis karena sesuatu persoalan, maka prioritas utama adalah keutuhan keluarga. Keluarga harus kita pertahankan, baru apa masalahnya atau apa krisisnya kita selesaikan. Jangan karena krisis, lalu ”kita pisah, kita cerai saja”. Apapun alasan perceraian, yang menjadi korban adalah anak-anaknya. Mungkin si isteri atau suami bahagia, tetapi anak-anaknya akan menderita.
- Kaitannya dengan pembinaan rumah tangga yang harmonis, Rasullullah Muhammad SAW memberi nasihat kepada pasangan yang hendak menikah dengan mengemukakan 3 hal menjadi suami yang baik dan 3 hal menjadi isteri yang baik.
Suami yang baik, adalah suami yang:
(1) Setia pada isterinya
(2) bertanggung jawab terhadap isteri dan keluarganya (anak-anaknya)
(3) tidak kasar terhadap isterinya.
Sedangkan isteri yang baik, adalah isteri yang:
(1) loyal pada suaminya
(2) hormat (respect) kepada suaminya
(3) melayani dan merawat suaminya dengan baik, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.
Konselor perkawinan sering menambahkan bahwa isteri yang baik itu adalah isteri yang anggun di d.epan umum, hemat di dapur, dan hangat di tempat tidur.
Perkawinan yang bahagia tidak cukup hanya didukung dengan cinta dan pemenuhan kebutuhan biologis saja, meskipun cinta diperlukan dan bahkan menjadi syarat dalam suatu perkawinan. Bekal cinta dan pemenuhan kebutuhan biologis saja tidak cukup, karena pada hakekatnya kebahagiaan suatu perkawinan terletak pada sampai seberapa jauh kemampuan masing-masing pasangan untuk saling berintegrasi dari dua kepribadian yang berbeda. Cinta dan kepuasan biologik mungkin menyenangkan pada awal perkawinan, tetapi tidak akan berlangsung lama; karena masing-masing pasangan tidak mampu untuk saling berintegrasi dan beradaptasi menjaga hubungan silaturahmi.
Dalam penelitiannya terhadap pasangan-pasangan perkawinan yang bertahan (tidak bercerai), Grunebaum, H.U menemukan 5 faktor yang mengikat suami-isteri sehingga mereka mempertahankan perkawinannya, yaitu:
(1) saling memberi dan menerima kasih sayang. (2) suami-isteri merupakan kemitraan persahabatan (bukan rival atau pesaing satu dengan lainnya). (3) saling memuaskan dalam pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) dan bertindak serta berperilaku sesuai dengan etika moral agama. (4) masing-masing pihak mempunyai komitmen dalam pengambilan keputusan (keputusan bersama). (5) saling menjaga dan memelihara hubungan sosial dengan anak-anak dan keluarga kedua belah pihak.
Kelima ikatan tersebut merupakan pilar bagi keharmonisan rumah tangga, sehingga terjadinya perselingkuhan amat kecil karena masing-masing saling menjaga terhadap intervensi pihak ketiga. Perselingkuhan dapat berakibat perceraian, namun perceraian dapat dihindari manakala masing-masing memiliki komitmen untuk memperhatikan faktor-faktor penting yang terkait dengan itu. Faktor-faktor yang menentukan perkawinan pasca perselingkuhan dapat dipertahankan, adalah:
1. Kesadaran dan pengakuan bahwa perselingkuhan itu adalah perbuatan yang melanggar norma-norma hukum perkawinan, moral etik agama. Atau dengan kata lain, suami atau isteri yang berselingkuh itu menyadari kesalahannya.
- Adanya penyesalan, rasa bersalah dan berdosa terhadap perselingkuhan yang telah dilakukannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
- Adanya kesediaan dari suami atau isteri untuk melepaskan pasangan selingkuhnya.
- Adanya motivasi dari pasangan suami-isteri untuk berniat mempertahankan perkawinan. Motivasi ini harus datang dari kedua belah pihak.
Sehubungan dengan hal tersebut, konselor atau terapis hendaknya dapat menumbuhkan motivasi dan menghindarkan agar pihak yang bersangkutan tidak merasa dipojokkan ataupun menjadi kehilangan muka. Terkait dengan isu poligami yang belakangan ini banyak dibicarakan orang (terlepas dari pro atau kontra), konselor perkawinan menyarankan agar para isteri berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi isteri yang berbakti, demi meraih kasih sayang suami sepenuhnya. Di samping itu, senantiasa berlapang dada menerima apapun yang ditakdirkan Allah SWT, karena pilihan Allah adalah jalan terbaik yang diberikan-Nya. Beberapa ciri isteri yang berbakti kepada suaminya dan taat kepada Allah SWT, adalah:
(1) mentaati suami,
(2) mensyukuri segala sesuatu yang diberikan suami,
(3) menjaga amanah,
(4) selalu menjaga penampilan agar tetap menarik,
(5) tidak buruk sangka dan cemburu buta,
(6) bersikap lemah lembut,
(7) pandai bergaul dengan keluarga suami,
(8) selalu jujur dan terbuka,
(9) menjaga perasaan suami,
(10) membiasakan budaya musyawarah.[3]
Masih ada hal lain yang harus kita pahami yakni sifat cinta laki-laki itu adalah ”jamak” dan sifat cinta wanita adalah ”tunggal”. Karena sifat cinta laki-laki jamak atau majemuk, memang memungkinkan cintanya dapat terdistribusikan ke mana-mana sedangkan karena sifat cinta wanita tunggal menungkinkan cintanya hanya tertuju kepada suami yang dicintainya saja. Di samping itu, pria (maskulin) yang normal, dalam arti komposisi unsur maskulinitas dan femininitas pada dirinya proporsional adalah wajar apabila jatuh cinta kepada wanita.
Sebaliknya, wanita (feminin) yang normal dalam arti komposisi unsur femininitas dan maskulinitasnya proporsional, adalah juga wajar apabila jatuh cinta kepada pria. Justru kalau pria malahan lebih tertarik kepada sesama pria (homoseks), dan wanita lebih tertarik kepada sesama wanita (lesbian); itu pertanda komposisi unsur maskulinitas dan femininitas dalam dirinya tidak proposional. Upaya lahiriah tersebut harus dilakukan sebaik-baiknya, disertai permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah SWT dengan pengharapan semoga Allah memberikan yang terbaik kepada kita semua dan kepada yang telah keliru diberi kekuatan untuk kembali ke jalan yang benar.
Kaitannya dengan komunikasi seksual yang membahagiakan, pasangan suami-isteri selayaknya memperhatikan pentingnya komuni¬kasi yang baik dengan pasangannya.
Terdapat empat area penting dalam kualitas komunikasi yang berpengaruh pada perbaikan komunikasi seksual, yaitu: pertanda (signals), makna (meaning), perasaan (feeling), dan peranan (roles)
Terdapat empat area penting dalam kualitas komunikasi yang berpengaruh pada perbaikan komunikasi seksual, yaitu: pertanda (signals), makna (meaning), perasaan (feeling), dan peranan (roles)
1. Pertanda (signals)
Untuk melakukan dan meningkatkan komunikasi seksual, pasangan dapat menggunakan pertanda (signals) sebagai komunikasi non-verbal. Komunikasi non-verbal memang paling sukses untuk meningkatkan komunikasi seksual, apabila rabaan dapat dirasakan, desahan dapat didengarkan, dan senyuman dapat dilihat. Jadi, orang yang menerima signal juga harus mampu mendengar aktif, melihat, mengarahkan perhatian, dan mengenali signal-signal yang signifikan.
Namun, yang sering terjadi justru pasangannya tidak mampu membaca signal dengan baik. Dengan demikian, tanggung jawab signal sebetulnya hanya bernilai separuh dari apa yang diharapkan.
Dalam hal peningkatan komunikasi seksual, pada pasangan yang berhasil ditemukan bahwa pasangan dapat meningkatkan komunikasi seksual mereka dengan belajar memahami masing-masing signal yang diberikan oleh pasangannya. Kesimpulan yang menyatakan bahwa setiap orang secara alami akan mampu mema¬hami signal yang diberikan oleh pasangannya, sehingga tidak perlu belajar memahaminya; malahan menjadi sumber kesulitan kehidupan seksualya.
2. Makna ( Meanings )
Makna dibalik kata-kata atau gestur dapat saling dipahami, dan menjadi fasilitator yang baik. Pasangan harus mampu menangkap makna yang terkandung dari setiap kejadian. Misalnya, kemampuan menangkap makna yang terkandung dari kejadian seorang isteri memasukkan tangannya ke dalam kemeja suaminya atau mengencangkan ikatan dasi suaminya, berpengaruh terhadap respon lanjut yang akan diberikan oleh suaminya. Namun, mungkin saja pasangan mengalami kesulitan dalam menangkap makna dari signal yang diberikan oleh pasangannya. Misalnya, seorang suami yang mengatakan bahwa ” Saya mau tidur sekarang”, sering isteri tidak menangkap makna yang tersirat dari ungkapan tersebut dan berpendapat bahwa suaminya memang lelah dan mau tidur lebih dulu, sehingga isteri dapat melanjutkan menikmati tayangan tele¬visi. Padahal, dengan ungkapan tersebut suami memberikan signal bahwa ia membutuhkan kesediaan isterinya untuk melakukan hubungan seksual.
3. Perasaan (Feelings)
Perasaan hampir selalu menyertai pasangan dalam perilaku seksualnya. Pasangan yang terbuka satu sama lain tentang apa yang mereka rasakan, adalah penting. Karena keterbukaan itu menjadi informasi yang berguna bagi peningkatan pemahaman simpati yang juga berperan sebagai fasilitator komunikasi seksual. Kesediaan pasangan untuk mendengar penjelasan pasangannya tentang perasaannya dan menghargai bahwa perasaan tersebut memang tepat (walaupun belum tentu pasangannya menyetujuinya), akan meningkatkan keintiman seksual. Misalnya, isteri menyatakan perasaannya dengan kata-kata ”Aku kangen mas”, akan membuat tumbuh empati suaminya dan selanjutnya bertambah intim komunikasi seksualnya.
4. Peranan (Roles)
Kesadaran akan peran yang harus diambil olah pasangan dalam aktivitas seksual merupakan hal vital dalam komunikasi seksual yang baik. Pasangan yang tahu apa yang diharapkan dari pasangannya dan apa yang secara sadar diketahui tentang tuntutan pasangannya, merupakan hal yang penting dalam kelancaran komunikasi seksual. Dalam aktivitas seksual, baik peran laki-laki maupun perempuan dapat dinegosiasikan oleh pasangan ingin menyertakan peran apa. Yang terpenting, peran yang dipilih oleh salah satu dari pasangan itu mendapatkan peran resiprokal sebagai peran dari pasangannya.
Dengan menetapkan satu peran, salah satu dari pasangan seyogyanya memproyeksikan peran resiprokal yang harus dilakukan oleh pasangannya. Misalnya, perempuan yang percaya bahwa hendaknya laki-lakilah yang harus menjadi insiator dalam perilaku seksual, tentu akan merasa kecewa apabila pasangannya tidak berinisiatif dalam perilaku seks. Dalam peranannya sebagai penunggu inisiatif pasangannya, akhirnya ia tidak tahu harus berbuat apa apabila ternyata keyakinan akan peran laki-laki dan perempuan tidak sesuai dengan kenyataan yang ia hadapi.
Kajian terhadap 3 (tiga) variabel di atas, mengandung implikasi sebagai berikut:[4]
1. Kesehatan perilaku seksual suami, isteri, atau suami-isteri akan mewarnai kualitas hidup mereka, akan mewarnai kebahagiaan hidup mereka. Artinya suami, isteri, atau suami-isteri yang sehat perilaku seksualnya dimungkinkan mempunyai peluang untuk dapat berkualitas hidupnya, bahagia hidupnya; dan sebaliknya yang tidak sehat perilaku seksualnya tidak mempunyai peluang untuk berkualitas hidupnya, untuk bahagia hidupnya.
- Sehat tidaknya perilaku seksual suami, isteri, atau suami-isteri dapat dipengaruhi oleh faktor harmonis tidaknya hubungan mereka. Dengan kata lain, keharmonisan hubungan suami-isteri dapat mempengaruhi kesehatan perilaku seksual mereka; demi¬kian pula sebaliknya kesehatan perilaku seksual suami, isteri, atau suami-isteri dapat mempengaruhi keharmonisan hubungan mereka. Kalau ketidak sehatan perilaku seksual suami atau isteri adalah positif karena hubungan dengan pasangannya sedang tidak harmonis, tidak usah bingung-bingung mencari obat kuat (bagi suami) atau obat perangsang gairah seksual (bagi isteri) atau ke dokter. Upaya itu akan sia-sia. Diselesaikan masalahnya dan dinetralisir perasaan-perasaan negatif yang ada saja dulu, Insya Allah potensi untuk dapat lagi melakukan hubungan seksual akan muncul kembali, dan keberhasilan akan diraih atas ridho Allah SWT.
- Layanan konseling perkawinan mempunyai kontribusi yang berarti bagi upaya penciptaan hubungan suami-isteri yang harmonis, yang pada gilirannya dapat tercipta perilaku seksual yang sehat pada diri mereka, berkualitas hidupnya, dan bahagia hidupnya; sesuai tujuan perkawinannya dan menjadi dambaan banyak pasangan. Layanan konseling perkawinan yang diselenggarakan oleh siapapun atau institusi manapun selayaknya menjadi kebutuhan bagi yang memerlukan, baik untuk tujuan-tujuan preventif, kuratif, maupun preservatif agar keadaan yang ”mengerikan” tidak terjadi.
Terkait dengan penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia yang sudah akan diperluas di mana tidak lagi hanya di sekolah-sekolah, melainkan juga di masyarakat; berarti perlu penataan kembali kurikulum Program Studi Bimbingan dan Konseling yang sesuai secara bertahap. Ini berarti pula bahwa kajian yang saya lakukan terhadap variabel-variabel di atas bermakna ”men-triger” sekaligus ”menjemput bola” atas terselenggaranya layanan bimbingan dan konseling yang lebih luas sebagaimana diharapkan. Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa berfikir dan mengupayakan terwujudnya hal ini adalah salah satu kewajiban saya sebagai Guru Besar di Program Studi Bimbingan dan Konseling.
3. Teknik Konseling Untuk Menyelamatkan Pernikahan & Keluarga
Konseling Perkawinan dan konseling keluarga, walaupun sering dianggap disiplin ilmu yang berbeda, tetapi semua intinya ada pada komunikasi. Dalam konseling suami dan istri, peran konselor adalah bukan untuk menyelamatkan pernikahan, melainkan untuk membantu pasangan berkomunikasi bagaimana mereka ingin menyelamatkan hubungan mereka. Konseling keluarga adalah pusat untuk membantu semua pihak berkomunikasi melalui pandangan yang sering bertentangan antara anak-anak dan orang tua. Untuk berhasil melakukannya, disini terdapat beberapa solusi yang mungkin bisa membantu.
a. Konseling Pada Pasangan Suami Istri
Sesi pertama untuk suami dan istri yang menghadapi gangguan perkawinan atau masalah utama dan berusaha menetapkan keputusan untuk masa depan mereka. Awalnya, konselor perlu bertindak seperti polisi lalu lintas dengan meyakinkan percakapan akan berjalan dengan baik dan komunikatif. Satu atau kedua pasangan kebanyakan cenderung untuk saling menyalahkan satu sama lain, dan konselor harus menghindari pasangan tersebut agar tidak jatuh ke dalam perangkap tersebut.
Salah satu teknik adalah mengharuskan klien untuk menggunakan pernyataan “Saya”. Alih-alih istri mengatakan, “Dia membuat saya marah ketika dia melakukan itu,” konselor berusaha membenarkan dengan kalimat, “Saya marah ketika dia melakukan itu …” Jauhkan masing-masing pasangan ini untuk berbicara tentang perasaannya sendiri, bukan berpasangan untuk menghindari terjadinya konflik lebih lanjut.
b. Patung, Pekerjaan Rumah, dan Menulis
Sebuah teknik yang dipopulerkan oleh psikolog dan penulis Virginia Satir adalah “Sculpting.” Mintalah suami untuk menggambarkan bagaimana dia melihat posisi istrinya dalam hubungan mereka, lalu bagaimana dia melihat tempatnya dalam kaitannya dengan dirinya. Lalu ia “memahat” baik dirinya dan istrinya karena ia ingin mereka menjadi pasangan yang harmonis. Sang istri kemudian mengambil gilirannya. Salah satu hasil yang berharga adalah bahwa mereka berdua seringkali menyadari mereka ingin keseimbangan yang sama dalam hubungan mereka.
Pekerjaan rumah juga merupakan alat yang efektif karena ini akan memaksa pasangan secara tidak langsung untuk mempraktekkan apa yang mereka bicarakan dalam konseling. Misalnya, memberitahu istri untuk mengatakan satu hal positif untuk suaminya setiap hari, dan sebaliknya. Jika mereka terlalu marah untuk berbicara, meminta mereka untuk menulis catatan positif satu sama lain.
Konselor juga dapat menggunakan teknik ini dalam konseling keluarga dan anak-anak. Seorang konselor harus beradaptasi pada teknik ini untuk pada klien anak – anak.
c. Anak – anak senang bermain.
Jika konselor bekerja dengan anak 10 tahun atau lebih muda, “terapi bermain” sering mendapatkan pendekatan yang terbaik. Mintalah anak untuk mengungkapkan atau melakukan secara simbolis bagaimana perasaannya. Misalnya, ia dapat menempatkan beberapa mainan kecil berbentuk manusia, hewan dan benda lain dalam nampan pasir dan mensugesti anak untuk mengatur semua elemen tadi sebagaimana dia melihat rumahnya. Hasilnya, sebuah nampan kacau sering menunjukkan kehidupan rumah kacau, begitu juga sebaliknya, karena ini menunjukkan suasana hati mereka.
Catatan: Dengan anak-anak, konselor harus sangat memperhatikan tanda-tanda kemungkinan penyalahgunaan yang mungkin terjadi di keluarganya, dimana konselor harus melaporkan kepada otoritas perlindungan anak jika terjadi hal – hal yang diluar batas (misal: anak mengalami penyiksaan oleh orang tua, anak tidak diperlakukan sebagaimana mestiinya di rumah, dll). Tanda-tanda ini dapat mencakup tidak hanya luka cedera yang jelas, kekerasan ataupun pelecehan. Meskipun tidak ada bukti kekerasan / pelecehan, jika konselor melihat tanda-tanda mencurigakan, maka konselor harus semakin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi untuk bisa mengungkap permasalahan anak agar anak dapat menjalani kehidupan yang normal kembali.[5]
[1] http://www.konselingkeluarga.com/
[2] http://www.facebook.com/note.php?note_id=60606515449
[3] http://www.anneahira.com/konseling-perkawinan.htm
[4] http://r-doc.blogspot.com/2010/11/teknik-teknik-dalam-bimbingan-dan.html
[5] http://iklansurya.net/teknik-konseling-untuk-menyelamatkan-pernikahan-keluarga
0 komentar:
Posting Komentar