A. Pengertian Komunikasi Massa
Komunikasi massa berasal dari istilah bahasa Inggris, mass communication, sebagai kependekan dari mass media communication. Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated.
Istilah mass communication atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass communication. Massa mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi tertentu yang sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama.[1]
Berlo (dalam Wiryanto, 2005) mengartikan massa sebagai meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran. Definisi yang paling sederhana tentang komunikasi massa di rumuskan Bittner: “ Komunikasi massa adalah pesan yang di komunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang”.[2] Ahli komunikasi yang lain mendefinisikan komunikasi dengan merincikan karakteristik massa. Gerbner (1967) menulis, “Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. Maletzke (1963) menghimpun banyak defisi beberapa di antaranya, sebagai berikut:
1. Komunikasi massa artinya setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar.
2. Komunikasi massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar komunikasi dapat mencapai pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan.
Bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama yaitu diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen, dan anonim, pesan disampaikan secara terbuka, seringkala dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas dimana komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompeks yang melibatkan biaya besar.
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bitter yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Pengertian komunikasi massa yang lebih rinci oleh ahli komunikasi lain yaitu Gerbner, menurutnya komunikasi massa yaitu produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industry.
Menurut Severin dan Tankard dalam bukunya Communication Theories bahwa komunikasi massa yaitu sebagian keterampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televise, mengoperasikan tape recorder atau mencatat ketika berwawancara. Seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi dalam prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik.
Menurut Joseph A Devito merumuskan definisi komunikasi massa yaitu yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa serta tentang media yang digunakan. Ia mendefinisikan menjadi dua yakni: pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa yaitu komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan visual.
Menyimak berbagai definisi komunikasi massa yang dikemukakan para ahli komunikasi, tampaknya tidak ada perbedaan yang mendasar atau prinsip, bahkan definisi-definisi itu satu sama lain saling melengkapi.[3] Dapat ditarik kesimpulan dari definisi-definisi di atas, komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejuah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
1) Unsur-Unsur Komunikasi Massa
Harold D. Lasswell (dalam Wiryanto, 2005) memformulasikan unsur-unsur komunikasi dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut ”Who Says What in Which Channelto Whom With What Effect?”
- Unsur who (sumber atau komunikator). Sumber utama dalam komunikasi massa adalah lembaga atau organisasi atau orang yang bekerja dengan fasilitas lembaga atau organisasi (institutionalized person). Yang dimaksud dengan lembaga dalam hal ini adalah perusahaan surat kabar, stasiun radio, televisi, majalah, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud institutionalized personal adalah redaktur surat kabar. Melalui tajuk rencana menyatakan pendapatnya dengan fasilitas lembaga. Oleh karena itu, ia memiliki kelebihan dalam suara atau wibawa dibandingkan berbicara tanpa fasilitas lembaga.
McQuail (1987) menyebutkan ciri-ciri khusus institusi (lembaga) media massa sebagai berikut:
a) Memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya. Upaya tersebut merupakan respon terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu.
b) Menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain: dari pengirim ke penerima, dari anggota audien ke anggota audien lainnya, dari seseorang ke masyarakat dan institusi masyarakat terkait. Semua itu bukan sekedar saluran fisik jaringan komunikasi, melainkan juga merupakan saluran tatacara dan pengetahuan yang menentukan siapakah sebenarnya yang patut atau berkemungkinan untuk mendengar sesuatu dan kepada siapa ia harus mendengarnya.
c) Media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik, dan merupakan institusi yang terbuka bagi semua orang untuk peran serta sebagai penerima (atau dalam kondisi tertentu sebagai pengirim). Institusi media juga mewakili kondisi publik, seperti yang tampak bilamana media massa menghadapi masalah yang berkaitan dengan pendapat publik (opini publik) dan ikut berperan membentuknya (bukan masalah pribadi, pandangan ahli, atau penilaian ilmiah).
d) Partisipasi anggota audien dalam institusi pada hakikatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Misalnya pendidikan, agama atau politik. Partisipasi anggota audien lebih mengacu pada mengisi waktu senggang dan santai, bukannya berkenaan dengan pekerjaan dan tugas. Hal tersebut dikaitkan juga dengan ketidakberdayaan formal institusi media: media tidak dapat mengandalkan otoritasnya sendiri dalam masyarakat, serta tidak mempunyai organisasi yang menghubungkan pemeran-serta ”lapisan atas” (produsen pesan) dan pemeran-serta ”lapisan bawah” (audien).
e) Meskipun institusi media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media, mekanisme hukum, dan pandangan-pandangan menentukan yang berbeda antara negara yang satu dengan lainnya.
Komunikator dalam proses komunikasi massa selain merupakan sumber pesan, mereka juga berperan sebagai gate keeper (lihat McQuail, 1987; Nurudin, 2003). Yaitu berperan untuk menambah, mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami oleh audien-nya.[4]
2) Ciri-ciri komunikasi massa
Sedangkan ciri-ciri komunikasi massa, menurut Elizabeth Noelle Neuman adalah sebagai berikut:
1. Bersifat tidak langsung, artinya harus melalui media teknis;
2. Bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi;
3. Bersifat terbuka, artinya ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim;
4. Mempunyai publik yang secara tersebar.
Pesan-pesan media tidak dapat dilakukan secara langsung artinya jika kita berkomunikasi melalui surat kabar, maka komunike kita tadi harus diformat sebagai berita atau artikel, kemudian dicetak, didistribusikan, baru kemudian sampai ke audien. Antara kita dan audien tidak bisa berkomunikasi secara langsung, sebagaimana dalam komunikasi tatap muka. Istilah yang sering digunakan adalah interposed. Konsekuensinya adalah, karakteristik yang kedua, tidak terjadi interaksi antara komunikator dengan audien. Komunikasi berlangsung satu arah, dari komunikator ke audien, dan hubungan antara keduanya impersonal.
Karakteristik pokok ketiga adalah pesan-pesan komunikasi massa bersifat terbuka, artinya pesan-pesan dalam komunikasi massa bisa dan boleh dibaca, didengar, dan ditonton oleh semua orang. Karakteristik keempat adalah adanya intervensi pengaturan secara institusional antara si pengirim dengan si penerima. Dalam berkomunikasi melalui media massa, ada aturan, norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Beberapa aturan perilaku normatif ada dalam kode etik, yang dibuat oleh organisasi-organisasi jurnalis atau media.[5]
3) Karakteristik komunikasi massa
Seseorang yang akan menggunakan media massa sebagai alat untuk melakukan kegiatan komunikasinya perlu memahami karakteristik komunikasi massa yakni sebagai berikut
a. Komunikasi massa besifat umum
Pesan komunikasi yang disampaikan melalui media massa adalah terbuka untuk semua orang. Meskipun pesan komunikasi massa bersifat umum dan terbuka, sama sekali terbuka juga jarang diperoleh, disebabkan factor yang bersifat paksaan yang timbul karena struktur social.[6] Pesan komunikasi massa dapat berupa fakta, peristiwa atau opoini. Namun tidak semua fakta dan peristiwa yang terjadi disekeliling kita dapat dimuat dalam media massa. Pesan komunikasi massa yang dikemas dalam bentuk apa pun harus memenuhi kriteria penting atau menarik, atau penting sekaligus menarik, bagi sebagian besar komunikan.[7]
b. Komunikan bersifat heterogen.
Perpaduan antara jumlah komunikan yang besar dalam komunikasi massa dengan keterbukaan dalam memperoleh pesan-pesan komunikasi, erat sekali hubungannya dengan sifat heterogen komunikan.
Massa dalam komunikasi massa terjadi dari orang-orang yang heterogen yang meliputi penduduk yang bertempat tinggal dalam kondisi yang sangat berbeda, dengan kebudayaan yang beragam, berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mempunyai pekerjaan yang berjenis-jenis, maka oleh karena itu mereka berbeda pula dalam kepentingan, standar hidup dan derajat kehormatan, kekuasaan dan pengaruh.[8]
c. Media massa menimbulkan keserempakan
Menurut Effendi (1981) mengartikan keserempakan media massa itu sebagai keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah. contoh: acara Indonesian Idol yang ditayangkan stasiun televise RCTI ditonton oleh jutaan pemirsa. Mereka secara serempak pada waktu yang sama menonton acara tersebut selama hampir 120 menit padahal mereka bertempat di seluruh Indonesia.[9]
d. Hubungan komunikator-komunikan bersifat non-pribadi
Dalam komunikasi massa, hubungan antara komunikator dan komunikan bersifat non-pribadi, karena komunikan yang anonim dicapai oleh orang-orang yang dikenal hanya dalam peranannya yang bersifat umum sebagai komunikator. Sifat non-pribadi ini timbul disebabkan teknologi dari penyebaran yang massa dan sebagian lagi dikarenakan syarat-syarat bagi peranan komunikator yang bersifat umum.
B. Sistem Komunikasi Massa Versus Sistem Komunikasi Interpersonal
Bila sistem komunikasa massa di perbandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal, secara teknis dapat ditunjukkan empat tanda pokok dari komunikasi massa menurut Elizabeth Noelle Neuman yaitu 1) bersifat tidak langsung artinya harus melalui media teknis, 2) bersifat satu arah artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi (para komunikan), 3) bersifat terbuka artinya ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim, 4) mempunyai publik secara geografis tersebar. Karena perbedaan teknis, maka sistem komunikasi massa dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal. Ini tamak pada pengendalian arus informasi, umpan balik, stimulasi alat indera, dan proporsi unsur isi dengan hubungan.
No
|
Pengertian
|
Komunikasi Massa
|
Komunikasi Interpersonal
| |
1.
|
Pengendalian arus Informasi
|
mengatur jalannya pembicaraan yang di sampaikan dan yang diterima
|
Seorang penerima informasi tidak bisa secara langsung mengkritik apa yang sedang di beritakan.
|
Apa yang di katakan oleh komunikan seorang penerima informasi dapat melakukan interaksi secara langsung dengan memberikan pertanyaan, ktirtikan, saran, dan sebagainya
|
2.
|
Umpan Balik
|
Sebuah respons, peneguhan, dan servomekanisme Internal.
Menurut Fisher merupakan pesan yang dikirim kembali dari penerima ke sumber, memberi tahu sumber tentang reaksi penerima dan memberikan landasan kepada sumber untuk menentukan perilaku selanjutnya.[10]
|
Respons boleh dikatakan hanyalah zero feedback.
Seorang yang melakukan komunikasi massa hanya mebayangkan reaksi dari seseorang yang menerima informasi itu dalam benaknya saja.
|
Semuanya menjadi umpan balik yang diterima melalui alat indera.
Respon mempunyai volume yang tidak terbatas dan lewat berbagai saluran pada komunikasi Interpersonal.
|
3.
|
Stimulasi Alat Indera
|
Stimuli alat indera bergantung pada jenis media massa. Misalnya media cetak orang hanya menggunakan penglihatan.
|
Orang menerima stimuli lewat seluruh alat inderanya.
| |
4.
|
Proporsi unsur isi dengan Hubungan
|
Unsur isi yang penting.
|
Unsur Hubungan sangat penting
|
B. Sejarah Penelitian Efek Komunikasi Massa
“Pada malam tanggal 30 oktober 1938, ribuan orang Amerika panik karena siaran radio yang menggambarkan serangan makhluk mars yang mengancam seluruh peradaban manusia. Barangkali tidak pernah teradi sebelumnya,begitu banyak orang dari berbagai lapisan dan di berbagai di Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang tergoncangkan oleh apa yang terjadi waktu itu,” begitu hadley Cantril memulai tulisannya tentang The Invasion of Mars[11].
Sebuah pemancar radio menyiarkan sandiwara Orson-Welles. Sandiwara ini begitu hidup sehingga orang menduga bahwa yang terjadi adalah laporan pandangan mata. Ketika dalam cerita itu dihadirkan tokoh-tokoh fiktif seperti para profesor dari beberapa observatorium dan perguruan tinggi yang terkenal dan jenderal Montgommery Smith, panglima angkatan bersenjata, pendengar menganggapnya peristiwa sebenarnya. “sebelum siaran itu berakhir, “begitu dilaporkan Cantril, “diseluruh Amerika Serikat orang berdo’a, menangs, melarikan diri secara panik untuk menghindarkan kematian karena makhluk Mars. Ada yang lari menyelamatkan kekasihnya, ada yang menelepon menyampaikan ucapan perpisahan atau peringatan, ada yang segera memberi tahu tetangga dan lain-lain. Sekurang-kurangnya enam juta orang mendengar siaran itu. Sekurang-kurangnya orang ketakutan atau tergoncangkan”.
Peristiwa itu menarik beberapa orang peneliti sosial bahwa peristiwa langka telah terjadi. Peristiwa ini juga menarik, karena menggambarkan keperkasaan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya. Sekarang orang memandang media massa dengan perasaan ngeri. Sementara itu, pada dasa warsa yang sama, jutaan pemilik radio juga dipukau dan digerakkan oleh propagandis agama Father Coughlin (Teknik-teknik propaganda Coughlin dianalisa oleh Institut for Propaganda Analysis). Di Jerman orang melihat bagaimana sebuah bangsa beradap diseret pada kegilaan massa yang mengerikan. Jerman Nazi masih menggunakan media massa secara maksimal. Media massa dikontrol dengan ketat oleh kementrian propaganda. Menulis atau berbicara yang bertentangan dengan penguasa nazi dapat membawa orang pada kamp-kamp konsentrasi. Oposisi dibungkam. Hanya informasi yang dirancang oleh penguasa yang boleh disebabkan. Radio diperbanyak untuk menambah efektifitas mesin propaganda. Disamping Hitler, Mussolini di Italia juga memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya, dirusia Lenin berhasil merebut kekuasaan, tak kurang dengan menggunakan media massa pula.
Menurut Noelle-Neumann, penelitian media massa selama empat puluh tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa tidak perlu diperhatikan efeknya tidak perlu berarti.[12] Sampai tahun 1940, pada pasca perang dunia I, ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan media massa. Harold Laswell membuat disertasinya tentang teknik-teknik propaganda tentang perang dunia I. The institut for propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang digunakan oleh pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi instink sedang populer dikalangan ilmuan. Dalam hubungan dengan media massa keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin De Fleur (1975) sebagai “Instinctive S-R theori”[13]. Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secra seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respon yang sama pada stimuli yang datang dari media massa. Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa, teori ini disebut juga “teori pluru” (bullet theory) atau “model jarum hipodermis”, yang menganalogikan pesan komunikasi seperti obat yang disuntikkan dengan jarum kepada pasien. Elisabeth Noelle-Neumann (1973) menyebut teori ini “the concept of powerful mass media”.
Pada tahun 1940-an, Carl l. Hovland melakukan beberapa penelitian eksperimental untuk menguji efek film terhadap tentara. Ia dan kawan-kawannya menemukan bahwa film hanya efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi tidak dalam mengubah sikap. Apa yang ditemukan Paul Lazarsfelg sangat mengejutkan dimana media massa hampir tidak berpengaruh sama sekali. Alih-alih sebagai “Agen of Convertion: (media untuk mengubah perilaku), media massa lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Pengaruh media massa juga disaring pemuka pendapat. Pengaruh interpersonal ternyata lebih dominan dari pada media massa. Khalayak juga bukan lagi tubuh pasif yang menerima apa saja yang disuntikkan kepadanya. Khalayak menyaring informasi melalui proses yang disebut “(selective expossion) dan persepsi selective perseption”.
Pada saat yang sama, leon festinger dari kubu psikologi kognitif datang dengan “theory of cognitive dissonance” (teori disonansi kognitif). Teori ini menyatakan bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya. Berbagai penelitian 1940 dan 1950-an makin membuktikan keterbatasan pengaruh media massa.
Pada tahun 1960, Joseph Klapper menerbitkan buku The Effects of Mass Communication. Dari rangkuman hasil-hasil penelitian, Klapper, antara lain menyimpulkan bahwa efek komunikasi massa terjadi lewat serangan faktor-faktor perantara. Faktor-faktor perantara itu termasuk proses selektif (persepsi selektif, terpaan selektif, dan ingatan selektif, dan proses kelompok, norma kelompok, dan kepemimpinan opini).[14]
McQuail merangkumkan semua penemuan penelitian pada periode ini sebagai berikut:
1) Ada kesepakatan bahwa bila efek terjadi, efek itu seringkali berbentuk peneguhan dari sikap dan pendapat yang ada.
2) Sudah jelas bahwa efek berbeda-beda tergantung pada prestise atau penilaian terhadap sumber komunikasi.
3) Makin sempurna monopoli komunikasi massa, makin besar kemungkinan perubahan pendapat dapat ditimbulkan pada arah yang dikehendaki.
4) Sejauh mana suatu persoalan dianggap penting oleh khalayak akan mempengaruhi kemungkinan pengaruh media massa- “komunikasi massa efektif dalam menimbulkan pergeseran yang berkenaan dengan persoalan yang tidak dikenal, tidak begitu dirasakan, atau tidak begitu penting.”
5) Pemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh pendapat dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma kelompok.
6) Sudah jelas juga bahwa struktur hubungan interpersonal pada khalayak mengantarai arus isi komunikasi, membatasi, dan menentukan efek yang terjadi.[15]
Setelah para peneliti menyadari betapa sukarnya melihat efek media massa pada orang, para peneliti sekarang memperhatikan apa yang dilakukan orang terhadap media. Fokus penelitian sekarang bergeser dari komunikator ke komunikate, dari sumber ke penerima. Khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan pendekatan “uses dan gratification” (penggunaan dan pemuasan).
Pendekatan ini pertama kali dinyatakan oleh Elihu Katz (1959) sebagai reaksi terhadap Bernard Berelson yang menyatakan bahwa penelitian komunikasi mengenai efek media massa sudah mati. Yang mulai hidup adalah penelitian tentang usaha untuk menjawab pertanyaan : “what do people do with the media?”. Karena penggunaan media adalah salah satu cara untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan, maka efek media sekarang didefinisikan sebagai situasi ketika pemuasan kebutuhan tercapai. Model uses and gratification boleh disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper.
Model lain yang termasuk model efek moderat adalah pendekatan agenda setting tampaknya mempengarui kembali penelitian efek, yang diabaikan oleh model uses and gratification. Perbedaannya yang utama dari model jarum hipodermis adalah fokus penelitian. Bila model yang disebut terakhir meletakkan perhatian pada efek media massa terhadap sikap dan pendapat, agenda setting memusatkan perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan. Dengan perkataan lain, fokus perhatian bergeser dari efek afektif ke efek kognitif.
Di jerman, Elisabeth Noelle-Neumann dapat di anggap sebagai sarjana yang menekankan pentinganya kembali kepada konsep efek pekasa dari media massa. Menurut Noelle-Neumann, penelitian terdahulu tidak memperhatikan tiga faktor penting dalam media massa. Faktor itu bekerja sama dalam membatasi persepsi yang selektif. Ketiga faktor itu adalah ubiquity, kumulasi pesan, dan keseragaman wartawan.
Ubiquity artinya serba ada. Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi dan di mana-mana. Kerena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari pesan media massa. Sementara itu, pesan-pesan media massa besifar kumulatif.
Berbagai pesan yang sepotong-potong bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu. Perulangan pesan yang berkali-kali dapat memperkokoh dampak media massa. Menurut Noellen-Neumann, adanya berita atau penyiaran yang seragam akan menyebabkan orang menduga bahwa berita itu merupakan opini mayoritas. Ketika semua surat kabar di Jerman menunjukkan ketidak setujuan pada hukuman mati, orang Jerman menduga itulah opini mayoritas. Ternyata survei menunjukkan sikap terhadap hukuman mati terbagi hampir setengah-setengah diantara penduduk Jerman. Bersamaan dengan timbulnya kesan tentang opini mayoritas, orang-orang mempunyai pendapat berbeda akan diam. Karena diam, suara mayoritas makin diperkuat. Terjadilah apa yang disebut Noellen-Neumann “die Schweigespirale” – lingkaran kebisuan. Disini jelas media massa menimbulkan efek yang kuat dalam membentuk persepsi khalayak, bahkan menimbulkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang baru.[16]
Pada abad ini terjadi revolusi komunikasi. Ada yang menyebutnya “ledakan komunikasi”. Sekarang makin disadari tanpa harus mengulangi kembali hipotesis teffler tentang kaitan antara infosphere-sociosphere-psychosphere- teknologi komunikasi yang baru yang telah membentuk dan mengubah cara hidup kita. Dengan media komunikasi yang baru, “we are fabricating a total psychological environment of our selves”, ujar Frederick Williams dalam bukunya the communication Revolution. Pada bagian terakhir bukunya Williams melukiskan bagaimana teknologi komunikasi mengubah pola kehidupan santai kita, transportasi, kesehatan, politik, pendidikan dan seluruh tatanan sosial kita. Pada kalimat-kalimat terakhir bukunya, ia menulis “lingkungan elektronis yang baru adalah metamorfose kondisi-kondisi yang telah mengembangkan kehidupan di bumi. Lingkungan ini telah menghapus dimensi-dimensi dan waktu yang lama; melewati batas-batas lingkungan fisik. Pada lingkungan ini hampir seluruh umat manusia dapat menyaksikan pengalaman yang sama secara simultan, atau keanekaragaman pengalaman yang tidak terhingga. Lingkungan elektronis dapat diubah dengan segera dapat menghubungkan lebih banyak pikiran manusia, pikiran dengan segala gagasan, dan pikiran dengan mesin, daripada alat-alat komunikasi yang pernah kita kembangkan selama 36.000 tahun dari warisan ujaran dan 6.000 tahun warisan tulisan. Lingkungan elektronis mencengkram, meremehkan, menyenangkan, dan membosankan”.
Secara singkat kita telah melacak perkembangan penelitian efek komunikasi dari periode Perang Dunia I sampai sekarang, suatu pesiar dalam kapsul waktu yang berlangsung kira-kira hampir setengah abad. Setengah abad memang tidak berarti apa-apa dalam sejarah peradaban manusia. Namun pada 50tahun terakhir, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan komunikasi yang jauh lebih cepat daripada apa yang terjadi selama puluhan ribu tahun sebelumnya. Mungkin orang memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad technetrotic (teknologi elektronis) yang akan datang. Tetapi seperti dikatakan bagian terdahulu, manusia bukanlah robot yang pasif yang dikontrol lingkungan. Setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk mengalami lingkungan secara fenomenologis.[17]
[2] Rakhmat, Jalaluddin, M.Sc. Psikologi Komunikasi.(Bandung: 1996). Hal. 188
[6] Prof. Onong Uchjana Effendy. Ilmu, Teori, dan Komunikasi. (Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2003) hal81
[8] Prof. Onong Uchjana Effendy. Ilmu, Teori, dan Komunikasi. (Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2003) hal 82
[10] Rakhmat, Jalaluddin, M.Sc. Psikologi Komunikasi.(Bandung: 1996). Hal. 191
[11] Ibid. Hal. 194-195
[12] Rakhmat, Jalaluddin, M.Sc. Psikologi Komunikasi.(Bandung: 1996). Hal.196
[13] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: 1991). Hal, 197
[15] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: 1991). Hal, 199
[16] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: 1991). Hal,
[17] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: 1991). Hal,202
0 komentar:
Posting Komentar