Sabtu, 15 Juni 2013

Client Center



 
BAB I
PENDAHULUAN

   1.1  Latar Belakang Masalah
Carl Rogers mengembangkan terapi Konseling Berpusat Pada Pribadi (client-centered) sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomenanya.

            Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.
            Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupaka katalisator bagi perubahan, klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya. Selanjutnya mengenai Konseling Berpusat pada Pribadi akan penulis kupas secara lebih rinci dalam pembahasan selanjutnya.

1.2  Rumusan Masalah
Merujuk dari latar belakang masalah yang telah kita kaji sebelumnya, maka disini muncul beberapa permasalahan yang harus diselesaikan, yakni:
1.      Bagaimana sejarah perkembangan konseling berpusat pada pribadi?
2.      Bagaimana  hakikat perilaku dari konseling berpusat pada pribadi?
3.      Bagaimana perkembangan prilaku (pribadi sehat dan tidak sehat) dari konseling berpusat pada pribadi?
4.      Bagaimana hakikat dari konseling berpusat pada pribadi?
5.      Bagaimana kondisi pengubahan (tujuan, konselor, klien, situasi hubungan) dari konseling berpusat pada pribadi?
6.      Bagaimana mekanisme pengubahan (tahap-tahap konseling dan teknik-teknik konseling) dari konseling berpusat pada pribadi?
7.      Apa kelemahan dan kelebihan dari konseling berpusat pada pribadi?



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Perkembangan
Latar Belakang Tokoh dan teori ini adalah Carl Rogers, teorinya yang mengatakan bahwa pemecahan masalah berpusat pada klien, banyak kesamaannya dengan makna konseling secara umum. Konseling pada dasamya proses membantu individu, berarti individu itu sendirilah yang harus menyelesaikan masalahnya. Konseling yang berpusat pada pribadi mendasarkan diri pada pandangan¬nya tentang sifat dan hakikat manusia. Pandangannya terutama tertuju pada penghargaan martabat manusia.
Konseling yang berpusat pada pribadi atau yang lebih kita kenal dengan istilah ”client-centered”  dapat di deskripsikan sebagai corak konseling yang menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling.[1] Pada awalnya corak konselling ini disebut dengan konseling non-direktif untuk membedakannya dari corak konseling yang mengandung banyak  pengarahan dan kontrol terhadap proses konseling dipihak konselor. Istilah “client-centerde” mulai digunakan dengan maksud menggarisbawahi individualitas konseli yang setara dengan individualitas konselor sehingga dapat dihindari kesan bahwa konseli menggantungkan diri pada konselor.
            Konseling yang berpusat pada klien sebagai konsep dan alat baru dalam terapi yang dapat diterapkan pada orang dewasa, remaja dan anak-anak. Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya.
            Konseling yang berpusat pada pribadi awalnya adalah merupakan pendekatan non-direktif era 1990-an berpijak pada pandangan subjektif, menaruh kepercayaan penuh akan tanggung jawab pada klien untuk memecahkan persoalannya. Sehingga terapi ini memandang manusia secara positif.

2.2  Hakikat Perilaku
Konseling yang berpusat pada pribadi ini adalah sebuah terapi yang beranggapan bahwa seseorang yang sehat adalah orang yang hidup selaras antara diri ideal dan diri real.[2] Iklim yang nyaman dan terapeutik adalah ciri khasnya seperti kesejatian, kehangatan, empati yang akurat, respek, sikap permisif, kemampuan mengkomunikasikan sikap-sikap tersebut terhadap klien. Tekhnik dasarnya adalah adalah mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan, menjelaskan, dan hadir bagi klien.
Teori ini memandang manusia secara positif karena manusia memiliki suatu kecenderungan ke arah untuk menjadi berfungsi secara penuh. Dalam konteks hubunngan terapeutik, klien mengalami perasaan-perasaan yang sebelumnya diingkari. Klien mengaktualkan kesadaran, spontanitas, kepercayaan pada diri sendiri, dan keterarahan dalam.
Secara lebih lengkap hakikat perilaku manusia menurut Rogers adalah sebagai berikut:
a.       Manusia cenderung untuk melakukan aktualisasi diri, hal ini dapat dipahami bahwa organisme akan mengaktualisasikan kemampuannya dan memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri.
b.      Perilaku manusia pada dasarnya sesuai dengan persepsinya tentang medan fenomenal dan individu itu mereaksi medan itu sebagaimana yang dipersepsi. Oleh karena itu, persepsi individu tentang medan fenomenal bersifat subjektif.
c.       Manusia pada dasarnya bermartabat dan berharga dan dia memiliki nilai-nilai yang dijunjung tinggi sebagai hal yang baikbagi dirinya.
d.      Secara mendasar manusia itu baik dan dapat dipercaya, konstruktif tidak merusak dirinya (Gunarsa, 1992).
Menurut A-Wisol (2005), dalam teori kepribadian Rogers mengemukakan tiga unsur kepribadian yang terdapat dalam diri pribadi. Ketiga unsur tersebut adalah:
a.       Self
Adalah struktur kepribadian terdalam dari Rogers yang merupakan anggapan dan nilai-nilai atau hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Self ini merupakan bagian terpenting dari kepribadian seseorang sebagai aktualisasi diri yang sebenarnya. Sebagai pribadi yang otentik yang tidak dibuat-buatdan tak bertopeng. Entah itu bertopeng kekuasaan, topeng harta, topeng seksual atau bahkan topeng nafsu semata. Tetapi self  ini lebih bermakna, lebih dalam, lebih esensial dari pada topeng-topeng itu semua. Self ini adalah pribadi seseorang yang paling mahal harganya karena andaikata self seseorang sudah tidak lagi teridentifikasi dengan baik, maksudnya antara diri sebenarnya dan dunia kenyataan yang ada tidak sesuai maka self ini termasuk self yang terganggu kesehatannya. Self merupakan reaktualisasi kepribadian seseorang antara dirinya sendiri dengan dunia yang sebenarnya.
b.      Medan Fenomenal
Adalah segala sesuatu pengalaman seseorang yang telah dialaminya baik secara internal maupun eksternal. Maksudnya penglaman-pengalaman tersebut ia peroleh dari duni empiris dan dunia ide. Dunia empiris adalah dimana pengalaman tersebut kita dapatkan melalui sensasi dan persepsi yang nantinya persepsi yang kita dapatkan itu kita simpan sebagai suatu bangunan ilmu yang mendapat tempat tersendiri dalam pengetahuan kognisi (pikiran) kita. Sedangkan dunia ide adalah pengalaman yang kita dapatkan melalui berpikir (tafakkur), menganalisa (tafsir), dan memahami tentang sesuatu tertentu. Oleh karena itu medan fenomenal ini sangat erat kaitannya dengan beberapa aspek internal maupun eksternal dalam diri kita. Pengetahuan (knowledge) dan ide-ide atau gagasan-gagasan (ideas) merupakan dua kutub utama dari medan fenomenal terkait dengan bagaimana cara mendapatkan (epistemologis) pengetahuan dan sumber asalnya.
c.       Organisme
Keseluruhan totalitas individu yang meliputi pemikiran, sikap, perilaku dan keadaan kesehatan fisik dan mempunyai kecenderungan tersendiri seperti to actualization, survival, dan self development. Keseluruhan totalitas ini sebenarnnya juga meliputi hubungan yang selaras, seimbang, dan berkesinambungan antara aspek kognisi, aspek afeksi, dan aspek psikomotorik seseorang. Bagaimana seseorang itu dapat menyelaraskan, menyeimbangkan, dan mengharmoniskan hubungan diantara ketiganya agar dalam kenyataannya menghadapi dunia nyata, ia tidak mengalami gangguan mental. Seseorang yang dalam aspek kognisinya tidak sesuai dengan afeksi dan psikomotorik, maka seseorang tersebut termasuk mengalami gangguan mental.[3]

2.3  Perkembangan Prilaku (Pribadi Sehat dan Tidak Sehat)
Pendekatan client-centered memandang kepribadian manusia secara positif. Rogers bahkan menekankan bahwa manusia dapat dipercaya karena pada dasarnya kooperatif dan konstruktif. Setiap individu memiliki kemampuan menuju keadaan psikologis yang sehat secara sadar dan terarah dalam dirinya.[4]
Klien memiliki kemampuan untuk menjadi sadar atas masalah-masalahnya serta cara-cara mengatasinya. Kepercayaan diletakkan pada kesanggupan klien untuk mengarahkan dirinya sendiri. Kesehatan mental adalah keselarasan antara diri ideal dengan diri riil. Maladjusment atau ketidak mampuan menyesuaikan diri adalah akibat dari kesenjangan antara diri ideal dengan diri riil. Terapi ini berfokus pada masa kini dengan mengekspresikan perasaan-perasaannya.
Konseling yang berpusat pada pribadi ini menonjolkan aspek self  pada teorinya, pendekatan client-centered juga dianggap sebagai self-theory. Untuk menjadi individu yang memiliki self  yang sehat, klien memerlukan penghargaan yang positif, kehangatan cinta, kepedulian dan penerimaan. Self merupakan konsep mengenai diri dan hubungan diri dengan orang lain. Individu akan bertingkah laku selaras dengan konsep self yang dimilikinya.[5]
Menurut Rogers (Latipun, 2006), pembentukan self berhubungan dengan pengalamannya. Hubungan self dengan pengalaman seseorang pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kongruensi, pengalaman yang sesuai dengan self, (2) tidak kongruensi, pengalaman yang tidak sesuai dengan self, dan (3) self yang tidak memiliki hubungan dengan pengalaman.
Self tidak terentuk dengan sendirinya. Self terbentuk melalui proses asimilasi dan proses introyeksi. Asimilasi adalah proses pembentukan self akibat dari pengalaman langsung individu. Sementara introyeksi adalah proses pembentukan self karena adanya interaksi individu dengan orang lain atau lingkungan sekitar. Proses asimilasi dan introyeksi yang terbentuk sebagai struktur self adalah pengalaman yang sesuai dengan struktur self tersebut, sedangkan pengalaman yang tidak sesuai akan ditolak atau dikaburkan.
Rogers mengungkapakan bahwa dinamika kepribadian manusia adalah unik dan positif. Setiap individu memiliki kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya secara terarah dan konstruktif. Kecenderungan ini bersifat inheren dan telah ada sejak individu diahirkan. Apabila individu memperoleh penghargaan positif dari lingkungannya, ia akan dapat berkembang secara positif. Hal ini menandakan bahwa lingkungan sosial sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian individu. Individu yang telah terpenuhi kebutuhan afeksinya akan mampu berfungsi secara utuh yang dapat ditandai dengan keterbukaan terhadap pengalaman, percaya kepada orang lain, dapat menegekspresikan perasaan secara bebas, bertindak mandiri dan kreatif. Tidak semua inndividu dapat memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga muncullah individu yang memiliki perilaku bermasalah.[6] Klien yang tingkah lakunya bermasalah cenderung mengembangkan kepura-puraan yang digunakan sebagai pertahanan terhadap hal-hal yang dirasakannya mengancam. Kepura-puraan ini akan menghambatnya tampil secara utuh dihadapan orang lain sehingga menjadi asing terhadap dirinya sendiri.
Pribadi yang penyesuaiannya  baik sangat erat hubungannya dengan pengalaman individu, yaitu segenap pengalamannya disimilasikan dan disadari ke dalam hubungan yang selaras dengan konsepsi self. Sebaliknya, penyesuaian psikologis yang salah terjadi apabila konsepsi  self menolak menjadi sadar pengalaman, yang selanjutnya tidak dilambangkan dan tidak diorganisasikan kedalam struktur self secara utuh.
Menurut Rogers pengasingan yaitu orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidak konsistenan mengenai konsep dirinya, defensif, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.[7]
Menurut pandangan Hasen (dalam Latipun, 2001), karakteristik perilaku individu yang bermasalah adalah apabila ia tidak mendapatkan penghargaan secara positif dari orang lain, ketidak selarasan antara pengalaman dan self, mengalami kecemasan karena ketidak konsistenan konsep mengenai dirinya, defensif, dan penyesuaian perilaku yang salah.

2.4  Hakikat Konseling
Rogers mengemukakan bahwa client-centered (CCT) ini mempunyai beberapa prinsip, yaitu: 1. Menekankan pada dorongan dan kemampuan yang terdapat dalam diri individu untuk berkembang. Untuk hidup sehat dan menyesuaikan diri. 2. Menekankan pada unsur/aspek emosional dan tidak pada aspek intelektual. 3. Menekankan pada situasi yang langsung dihadapi individu, dan tidak pada masa lampau. 4. Menekankan pada hubungan terapeutis sebagai pengalaman dalam perkembangan individu yang bersangkutan.
Pendekatan konseling yang berpusat pada pribadi yang telah dikembangkan oleh Carl R. Rogers adalah sebuah pendekatan yang diaplikasikan pada kelompok, keluarga, masyarakat, dan terlebih kepada individu. Pendekatan ini dikembangkan atas anggapan mengenai keterbatasan dari psikoanalisis. Berbeda halnya dengan psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia cenderung deterministik, Rogers mengatakan bahwa manusia adalah pribadi-pribadi yang memiliki potensi untuk memecahkan permasalahannya sendiri.[8]
Willis mengatakan bahwa client centered sering pula disebut sebagai psikoterapi non-directive yang merupakan metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog dengan klien agar tercapai gambaran antara ideal self  (diri ideal) dengan actual self (diri sebenarnya). Ciri-ciri pendekatan client-centered adalah:
·         Ditujukan kepada klien yang mampu memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu.
·         Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan, bukan aspek intelektualnya.
·         Titik tolak konseling adalah masa sekarang (here and now) bukan masa lalu.
·         Tujuan konseling adalah menyesuaikan antara ideal self dan actual self.
·         Klien berperan paling aktif dalam proses konseling, sedangkan konselor hanya bertindak pasif-reflektif (konselor bukan hanya diam tetapi membantu klien aktif memecahkan masalahnya).

2.5  Kondisi Pengubahan (Tujuan, Konselor, Klien, Situasi Hubungan)
Tujuan dasar terapi  “client centered” adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seseorang pribadi yang berfungsi penuh. Menyediakan suatu iklim yang aman dan kondusif bagi eksplorasi diri  klien sehingga ia mampu menyadari penghambat-penghambat pertumbuhan dan aspek-aspek pengalaman diri yang sebelumnya diingkari atau didistorsinya. Titik berat dari tujuan client-centered adalah menjadikan tingkah laku klien kongruen atau autentik (klien tidak lagi berpura-pura dalam kehidupannya). Membantu klien agar mampu bergerak ke arah yang lebih terbuka (keterbukaan) terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan perasaan hidup. Secara singkat tujuan konseling ini mencakup: (1) terbuka terhadap pengalaman, (2) adanya kepercayaan terhadap organismenya sendiri, (3) kehidupan eksistensial yaitu sepenuhnya dalam setiap momen kehidupan, dan (4) perasaan bebas dan kreatif (Latipun, 2006)
Secara ideal, tujuan konseling berpusat pada person tidak terbatas oleh tercapainya pribadi yang kongruensi saja. Bagi Rogers tujuan konseling sama dengan tujuan kehidupan ini, yaitu pribadi yang berfungsi sepenuhnya.[9] Rogers beranggapan bahwa “fully functioning person” itu mirip dengan “self actualization”, meskipun memiliki sedikit perbedaan. Fully functioning person merupakan hasil dari proses dan karena itu lebih bersifat “becoming” (Gunarsa, 1992).
Dalam pandangan Rogers (Latipun, 2006), konselor lebih banyak berperan sebagai partner klien dalam memecahkan masalahnya. Dalam hubungan konseling, konselor ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oleh klien. Kondisi-kondisi yang perlu diciptakan adalah sebagai berikut: Konselor dan klien berada dalam hubungan psikologis.
·         Klien adalah orang yang mengalami kecemasan, penderitaan, dan ketidakseimbangan.
·         Konselor adalah benar-benar dirinya sejati dalam berhubungan dengan klien.
·         Konselor merasa atau menunjukkan “unconditional positive regard” atau penghormatan yang baik tanpa syarat kepada klien.
·         Konselor menunjukkan adanya rasa empati dan memahami tentang kerangka acuan klien dan memberitahukan pemahamannya kepada klien.
·         Klien menyadari (setidaknya pada tingkat minimal) usaha konselor yang menunjukkan sikap empatik berkomunikasi dan “unconditional positive regard” kepada klien.
Dalam memahami perilaku kien, konselor menggunakan pendekatan “internal frame of reference” klien sendiri dengan salah satu atau beberapa teknik diantaranya adalah verbalisasi, tekhnik non-verbal, membuka diri, dan ekspresi emosi.[10]

2.6  Mekanisme Pengubahan (Tahap-tahap Konseling dan Teknik Konseling)
            Tahap-tahap konseling secara garis besar adalah sebagai berikut:
a.       Konseling memusatkan pada pengalaman individual.
b.      Konseling berupaya meminimalisir rasa diri terancam, dan memaksimalkan dan serta menopang eksplorasi diri. Perubahan perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk menilai pengalamannya, membuatnya untuk memperjelas dan mendapat tilikan perasaan yang mengarah pada pertumbuhan.
c.       Melalui penerimaan terhadap klien, konselor membantu untuk menyatakan, mengkaji dan memadukan pengalaman-pengalaman sebelumnya kedalam konsep diri.
d.      Redefinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan diri dan menerima orang lain dan menjadi orang yang berkembang penuh.
e.       Wawancara merupakan alat utama dalam konseling untuk menumbuhkan hubungan timbal balik.[11]

2.7  Kelemahan dan Kelebihan
            Kelemahan pendekatan konseling yang berpusat pada pribadi terletak pada cara sejumlah pemraktek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral  dari posisi client-centered. Tidak semua konselor bisa mempraktekkan terapi client-centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya. Banyak pengikut Rogers yang berusaha menjadi tiruan dari Rogers sendiri dan salah mengartikan sejumlah konsep dasar dari Rogers. Mereka membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik. Tentu saja, mendengarkan klien secara sungguh-sungguh, merefleksikan dan mengomunikasikan pengertian kepada klien, memiliki nilai. Akan tetapi, mendengar dan merefleksikan jangan dikacaukan dengan terapi itu sendiri.
            Satu  kekurangan dari pendekatan client-centered adalah adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik. Secara paradoks, terapis dibenarkan berfokus pada klien sampai batas tertentu sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi dan oleh karenanya kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terpis perlu menggaris bawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien, dan pada saat yang sama ia bebas membawa kepribadiannya sendiri kedalam pertemuan terapi.
            Jadi orang bisa memiliki kesan bahwa terapi client-centered tidak lebih dari pada teknik mendengar dan merefleksikan. Terapi client-centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan dengan kliennya, dan lebih dari kualitas lain yang manapun, kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi bisa jadi tidak akan sungguh-sungguh mampu mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Keotentikan dan keselarasan terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka client-centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata adalah terapi client-centered akan dikecilkan menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman, tetapi tidak membuahkan hasil.
            Ada kekurangan tentu ada kelebihan. Begitu juga dengan jenis terapi yang berpusat pada pribadi. Kelebihan dari jenis terapi yang berpusat pada individu adalah:
·         Terapi client-centered memiliki sifat keamanan
Terapi ini menitikberatkan mendengar aktif, memberikan respek kepada klien, memperhatikan kerangka acuan internal klien, dan menjalin kebersamaan dengan klien yang merupakan kebalikan dari menghadapi klien dengan penafsiran-penafsiran.
·         Para terapis client-centered secara khas merefleksikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, membantu para klien untuk memeriksa sumber-sumbernya sendiri-sendiri, dan mendorong klien untuk menemukan cara-cara sendiri.
·         Terapi client-centered jauh lebih aman dibanding dengan model-model terapi lain yangng menempatkan terapis pada posisi direktif, membuat penafsiran-penafsiran, membentuk diagnosis, menggali ketidaksadaran, menganalisis mimpi-mimpi dan bekerja kearah pengubahan kepribadian secara radikal. Bagi orang yang kurang memiliki latar belakang dalam psikologi konseling, dinamika-dinamika kepribadian dan psikopatologi, pendekatan client centered memberi jaminan yang lebih realistis bahwa para calon klien tidak akan mengalami kerugian psikologis.
·         Pendekatan client-centered dengan berbagai cara memberikan sumbanagan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok. Ia memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subjektif klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar. Jika para klien merasa didengar, maka mereka sangat mungkin mengungkapkan perasaan-perasaan dengan cara mereka sendiri.

















BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN




























DAFTAR PUSTAKA












[1] Pihasniwati, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), Hal. 120
[2] Ibid, Hal. 121
[3] Pihasniwati, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), Hal. 124
[4] Dr. Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), Hal. 155
[5] Ibid, Hal. 155
[6] Dr. Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), Hal. 156
[7] Pihasniwati, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), Hal. 126
[8] Dr. Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), Hal. 154
[9] Pihasniwati, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), Hal. 126
[10] Pihasniwati, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), Hal. 128
[11] Pihasniwati, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), Hal. 129

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates