BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Khawarij merupakan aliran yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Hal ini terjadi karena tidak setuju dengan keputusan Ali bin Abi Thalib dalam menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sedangkan Murji'ah yaitu golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan yang terjadi pada kaum Khawarij dan Syi’ah yang sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertentangan inilah timbul suatu golongan baru yang ingin bersifat netral dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu.
Berkenaan dengan masalah itu, makalah ini akan mengajak pembaca untuk memahami apa yang dimaksud dengan Khawarij dan Murji'ah serta doktrin-doktrin dan sekte-sektenya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Khawarij dan Murji'ah?
2. Bagaimanakah doktrin-doktrin dalam Khawarij dan Murji'ah?
3. Bagaimanakah perkembangan dalam Khawarij?
4. Bagaimanakah sekte-sekte dalam Murji'ah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khawarij dan Murji'ah
Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Menurut teologi Islam, Khawarij adalah pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.[1]
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Mu'awiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir-hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Mu'awiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.[2]
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Mu'awiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra’ seperti al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha'i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.[3]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)nya, tetapi orang-orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Mu'awiyah menjadi khalifah pengganti Ali, sangat mengecewakan orang Khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah”. Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru”. Pada saat itu juga orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Harura. Itulah sebabnya Khawarij disebut juga dengan nama Hururiah.[4]
Harura itu terletak di dekat kota Kufah, di Irak. Di tempat inilah mereka, yang pada waktu itu berjumlah dua belas ribu orang, berkumpul segala memisahkan diri dari Ali. Di sini mereka memilih Abdullah bin Abi Wahb al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai ganti dari Ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran dengan kekuatan Ali, mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang khariji bernama Abd al-Rahman ibn Murjam dapat membunuh Ali. Sungguh pun telah mengalami kekalahan, kaum Khawarij menyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuatan Islam resmi baik di zaman Dinasti Bani Umaiyyah maupun di zaman Dinasti Bani Abbas. Pemegang-pemegang kekuasaan yang ada pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.[5]
Nama Murji'ah diambil dari kata irja dan arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji'ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu'awiyah serta pasukannya masing-masing, di hari kiamat kelak.[6]
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji'ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji'ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.[7]
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murji'ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib. Al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Mu'awiyah, pada tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa faham Syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di Mekkah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini pertama kali dipergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat itu, al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Usman, Ali dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke Makkah)”. Dengan sikap politik ini, al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau mengungkapkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Mu'awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Usman.[8]
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu'awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu'awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yaitu kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji'ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah. apakah Dia akan mengampuninya atau tidak.[9]
B. Doktrin-doktrin
Di antara doktrin-doktrin pokok Khawarij sebagai berikut:
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c. Setelah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam, ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.[10]
d. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng,.
e. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f. Mu'awiyah dan Amr bin al-Ash serta Abu Musa al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.[11]
g. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir .
h. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.[12]
i. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedangkan golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (negara Islam).[13]
j. Seorang harus menghindari dari pimpinan yang menyeleweng.
k. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka).
l. Amar ma'ruf nahi munkar.
m. Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar)
n. Qur’an adalah makhluk.[14]
o. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.[15]
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum Khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori: politik, teologi dan sosial. dari poin a sampai dengan g dikategorikan sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala negara (khilafah).
Khawarij dapat dikatakan sebagai sebuah partai politik. Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral Khawarij yang timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Mu'awiyah yang secara teoritis tidak pantas mempimpin negara, karena ia seorang tulaqa.[16]
Mereka menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengesahkannya menjadi khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat pulalah doktrin teologi tentang dosa besar sebagaimana tertera pada poin h dan k. Akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, Khawarij harus menanggung akibatnya. Mereka selalu dikejar-kejar dan ditumpas oleh pemerintah. Kemudian perkembangannya, sebagaimana dituturkan Harun Nasution, kelompok ini sebagian besar sudah musnah. Sisa-sisanya terdapat di Zanzibar, Afrika utara, dan Arabia selatan.[17]
Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yakni dari poin j sampai o, dapat dikategorikan sebagai doktrin teologis sosial. Doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok Khawarij sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin Mu'tazilah.[18]
Meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam wacana kelompok Khawarij patut dikaji lebih mendalam. Dapat diasumsikan bahwa orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama, sebagaimana dilakukan kelompok Khawarij, cenderung berwatak tekstualis/skripturalis sehingga menjadi fundamentalias.[19]
Khawarij pada dasarnya merupakan orang-orang baik, hanya saja keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras yang aspirasinya dikucilkan dan diabaikan penguasa, ditambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah menjadikan mereka bersikap ekstrim.[20]
Doktrin-doktrin pokok Murji’ah yaitu: Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam).[21]
Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar, dan ringan (mortal and venial sains), tauhid, tafsir al-Qur’an, eskatologi, pengampunan dosa besar, kemaksuman Nabi (the impeccability of the prophet), hukuman atau dosa (punishment of sains), ada yang kafir (infidel) di kalangan generasi awal Islam, tobat (redress of wrongs), hakikat al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (predestination).[22]
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:[23]
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu'awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat al-Khalifah ar-Rasyidun.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:[24]
- Menunda hukuman atas Ali, Mu'awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
- Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
- Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
- Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
C. Perkembangan Khawarij
Sebagaimana telah dikemukakan, Khawarij telah menjadikan imamah-khilafah (politik) sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya doktrin-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkan mereka sangat rentan pada perpecahan, baik secara internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara eksternal dengan sesama kelompok Islam lainnya. Para pengamat berbeda pendapat tentang jumlah sekte yang terbentuk akibat perpecahan yang terjadi dalam tubuh Khawarij.[25]
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh yang disebutkan di atas sepakat bahwa subsekte Khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:
a. Al-Muhakkimah
b. Al-Azriqah
c. Al-Nadjat
d. Al-Baihasiyah
e. Al-Ajaridah
f. As-Saalabiyah
g. Al-Abadiyah
h. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya, doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya pelengkap saja. Pemikiran subsekte ini lebih bersifat praktis daripada teoritis, sehingga kriteria mukmin atau kafirnya seseorang menjadi tidak jelas. Hal ini menyebabkan dalam kondisi tertentu seseorang dapat disebut mukmin dan pada waktu bersamaan disebut sebagai kafir. Tindakan kelompok Khawarij ini merisaukan hati umat Islam saat itu, sebab dengan cap kafir yang diberikan salah satu subsekte tertentu Khawarij, jiwa seseorang harus melayang, meskipun oleh subsekte lain ia masih dikategorikan mukmin. Bahkan, dikatakan bahwa jiwa seorang Yahudi atau Majusi masih lebih berharga dibandingkan dengan jiwa seorang mukmin.[26]
Semua aliran yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai aliran Khawarij, selama di dalamnya terdapat indikasi doktrin yang identik dengan aliran ini. Berkenaan dengan persoalan ini, Harun Nasution mengidentifikasi beberapa aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran Khawarij, yaitu sebagai berikut:
- Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
- Islam yang benar adalah Islam yang mereka fahami dan amalkan, sedangkan Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan lain tidak benar.
- Orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang mereka fahami dan amalkan.
- Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih iman dari golongan mereka sendiri, yakni imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan.
- Mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka.[27]
D. Sekte-Sekte Murji'ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji'ah. Kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha’ dari Mu'tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlussunnah.[28]
Oleh karena itulah, asy-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:[29]
- Murji'ah – Khawarij
- Murji’ah – Qadariyah
- Murji’ah – Jabariyah
- Murji'ah murni
- Murji’ah Sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah)
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji'ah, yaitu:[30]
a. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan
b. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa ash-Shalahi
c. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus as-Samary.
d. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus
e. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Ma’al Ghailan bin Marwan ad-Dimsaqy
g. An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr
h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah an-Nu’man
i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr al-Murisy
l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam as-Sijistany
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-rasul-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan, namun dalam garis besar, iman ini tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.[31]
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah al-Jamiyah, ash-Shalihiyah, al-Yunusiyah, dan al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut:[32]
a. Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang-orang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kafir adalah tidak tahu Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c. Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (polytheist).
d. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, “Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau tempat lain”.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa golongan Khawarij dan Murji’ah moderat sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufur, dosa besar masuk dalam aliran ahli sunnah wal jama’ah. Adapun golongan Khawarij dan Murji’ah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktik masih terdapat sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu. Mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongan Khawarij dan Murji’ah.
[1] Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin (selanjutnya disebut Maqalat), al-Nahdah al-Misriyah, Kairo, 1950, Jilid I, hlm. 156.
[2] Rahman, op. cit., hlm. 245.
[3] Amir an-Najjar, al-Khawarij: Aqidatan wa Fikratan wa falsafatan, terj. Afif Muhammad dkk., Lentera, Cet.1, Bandung, 1993, hlm. 5.
[4] Al-Baghdadi, op. cit., hlm. 75; Bandingkan dengan Nasution, loc. cit.; Bandingkan pula dengan an-Najjar, op. cit., hlm. 52
[5] Lihat Muhammad Ahmad Abu Zahrah, al-Mazahib al-Islamiah (selanjutnya disebut al-Mazahib), Maktabah al-Adab, Kairo, tat, hlm. 105-106.
[6] Cyril Glassc, The Concise Encyclopedia of Islam, Staceny International, London, 1989, hlm. 288-9; Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, 1990, hlm. 633-6; Ahmad Amin, Fajrul Islam, Jilid 1, Islam, Ej. Srill, Leiden, 1961, hlm. 412.
[7] Lihat W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survery, At Univ Press, Eidenburgh, 1987, hlm. 23; Departemen Agama RI, op. cit., hal. 633.
[8] Gibb and J. H. Krammers, loc. cit.
[9] Watt, op. cit., hlm. 21
[10] Nasution, op. cit., hlm. 12
[11] Al-Bagdadi, op. cit., hlm. 73
[12] Nurcholid Madjid (Ed.), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Cet II, Jakarta, 1985, hlm. 12.
[13] Ibid., hlm. 13
[14] Madzkur, op. cit., hlm. 110
[15] Madjid, loc. cit.
[16] Muhammad al-Ghazali, Fiqhu as-Sirah, terj. Abu Laila, al-Ma'arif, Cet.10, t.t., hlm. 647.
[17] Nasution, Teologi...., hlm. 21.
[18] Ibid.
[19] Madzkur, loc. cit.; dibandingkan dengan Rahman, op. cit., hlm. 247.
[20] An-Najjar, op. cit., hlm. 56.
[21] Classe, loc. cit.; Gibb and Kremmers, loc. cit.
[22] Gibb and Kremmers, op. cit., hlm. 412.
[23] W. Wontgomery Watt, Early Islam: Collected Articles, Eidenburg, 1990, hlm. 181.
[24] Nasution, Teologi Islam, op. cit., hlm. 22-3.
[25] Harun, Teologi, hlm. 13.
[26] Toshihiko Izutsu, The Concept of Believe in Islamic Theology, Tiara Wacana, Yogya, Cet. I, 1994, hlm. 15.
[27] Nasution, Islam Rasional, hlm. 124.
[28] Watt, Early Islam, hlm. 181.
[29] Ibid., hlm. 23.
[30] Muhammad Imarah, Tayyarat al-Fikr al-Islamy, Dar asy-Syuruq, Kairo – Beirut, 1991, hlm. 33-4.
[31] Nasution, Teologi ......, hlm. 24.
[32] Ibid., hlm. 26-27.
1 komentar:
dari doktrin2...maksud dari quran adalah makhluk si gimana maksute?karna q mbuka di google quran bukan makhluk.
Posting Komentar