BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Takhrij menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya.
Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya tempat keluar dan akhraj al-hadist wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadist kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya. Sedangkan menurut istilah muhaditsin, takhrij diartikan dalam beberapa pengertian: 1.Sinonim dan ikhraj, yakni seorang rawi mengutarakan suatu hadist dengan menyebutkan sumber keluarnya (pemberita) hadist tersebut, 2.Mengeluarkan hadist-hadist dari kitab-kitab, kemudian sanad-sanadnya disebutkan, 3.Menukil hadist dari kitab-kitab sumber (diwan hadist) dengan menyebut mudawinnya serta dijelaskan martabat hadistnya.
Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya tempat keluar dan akhraj al-hadist wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadist kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya. Sedangkan menurut istilah muhaditsin, takhrij diartikan dalam beberapa pengertian: 1.Sinonim dan ikhraj, yakni seorang rawi mengutarakan suatu hadist dengan menyebutkan sumber keluarnya (pemberita) hadist tersebut, 2.Mengeluarkan hadist-hadist dari kitab-kitab, kemudian sanad-sanadnya disebutkan, 3.Menukil hadist dari kitab-kitab sumber (diwan hadist) dengan menyebut mudawinnya serta dijelaskan martabat hadistnya.
Berdasarkan definisi di atas, maka mentakhrij, berarti melakukan dua hal, yaitu yang pertama berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya dan menunjukannya pada karya-karya mereka, seperti kata-kata akhrajahuh al-baihaqi, akhrajahu al-thabrani fi mu’jamih atau akhrajahu ahmad fi musnadih. Penyebutan sumber-sumber hadis dalam definisi di atas, bisa dengan menyebutkan sumber utama atau kitab-kitab induknya, seperti kitab-kitab yang termasuk pada kutub as-sittah, atau sunber-sumber yang telah di olah oleh para pengarang berikutnya yang berusaha menyusun dan menggabungkan antara kitab- kitab utama tersebut, seperti kitab al-jami’baina as-shahihain oleh al-humaidi, atau sumber-sumber yang berusaha menghimpun kitab-kitab hadis dalam masalah-masalah atau pembahasan khusus, seperti masalah fiqih, tafsir atau tarikh. Disinilah maka penulis akan membahas secara lebih rinci mengenai takhrij hadits.
1.2. LATAR BELAKANG MASALAH
1. Apa pengertian Takhrij Hadits?
2. Apa faktor penyebab adanya Takhrij Hadits?
3. Bagaimana metode Takhrij Hadits?
4. Apa manfaat Takhrij Hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN TAKHRIJ
Takhrij dalam bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-istinbath yang artinya mengeluarkan, al-tadrib yang artinya melatih atau pembiasaan dan al-tarjih yang artinya menghadap.[1] Sedangkan menurut istilah, takhrij memiliki beberapa pengertian, diantaranya ialah:
Menyampaikan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para perawinya dalam mata rantai sanad yang telah menyapaikan hadits ituitu dengan menggunakan metode periwayatan yang telah mereka tempuh.
Ahli hadits yang menyampaikan beberapa hadits yang telah disampaikan oleh para gurunya atau oleh beberapa kitab koleksi atau lainnya, yan susunannya disampaikan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para gurunya atau temannya atau orang lain dengan menjelaskan siapa perawinya dari para kolektor kitab atau karya tuis yang dijadikan sumber pengambilan. Hal ini dilakukan oleh para ahli hadits, seperti Imam Baihaqi, yang telah banyak mengambil hadits dari kitab sunan yang disusun oleh Abul Hasan al-Safar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.[2]
Kata takhrij berarti ikhraj al- ahadits min buthuni al-kutub wa riwayatuh ( mengeluarkan sejumlah hadis dari kandungan kitab-kitabnya dan meriwayatkannya kembali ). Pengertian ini diantaranya dikemukakan oleh as-sakhawi, ia menambahkan bahwa orang yang mengeluarkan hadis tersebut kemudian meriwayatkannya atas namanya sendiri atau atas nama guru-gurunya, serta menyandarkannya kepada penulis kitab yang dikutipnya.
Mengemukakan hadits pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadits itu.
Mengemukakan hadits pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.[3]
2.2. FAKTOR PENYEBAB TAKHRIJ AL-HADITS
Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadits (takhrij al-hadits) dilakukan oleh seorang peneliti hadits adalah sebagai berikut:
Mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti.
Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adalah mengetahui asal-usul periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab tanpa mengetahui asal-usulnya, sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui mata rantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar tentang mata rantai sanad dan matan, maka seorang peneliti mengalami kesuitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Maka dari faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij) dilakukan.
Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti. Maksudnya ialah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad hadits tersebut berkualitas dla’if dan yang lainnya berkualits shohih. Oleh sebab itu, untuk memperoleh kepastian kualitas sanad itu dla’if atau shohih, seorang peneliti harus mengetahui seluruh matarantai periwayatan hadits setelah mengetahui asal-usulnya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits yang bersangkutan dapat dilakukan secara baik dan benar.
Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada matarantai sanad.Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka sanad hadits yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya.[4]
Dari dukungan (corroboration) tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat), maka dukungan ini dikenal sebagai syahid. Jika dukungan (corroboration) itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkat tabi’ atau tabi’it tabi’in), maka disebut sebagai mutabi’. Dengan demikian, dalam penelitian terhadap matarantai sanad , dimana syahid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat memperkuat sanad hadits yang sedang diteliti. Begitu juga mutabi’ yang sanadnya berkualitas kuat, dapat meningkatkan nilai kualitas sanad hadits yang sedang diteliti. Oleh sebab itu, untuk mengetahui apakah matarantai sanad hadits yang sedang diteliti itu memiliki syahid atau mutabi’, seorang peneliti harus mengemukakan semua sanad hadits sebelum kegiatan penelitian (takhrij al-hadits) dilakukan, sehingga secara pasti status dan kualitas seluruh sanad yang sedang diteliti dapat diketahui. Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana ada syahid dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat denga mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.
2.3. METODE TAKHRIJ
Setelah mengetahui betul faktor-faktor yang menyebabkan penelitian hadits (takhrij hadits), maka langkah awal yang harus dilakukan seorang peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian hadits (takhrij al-hadits) adalah hal-hal sebagai berikut:
· Kitab-kitab koleksi atau buku-buku pendukung tentang takhrij.
Telah dapat diketahui bersama bahwa untuk menelusuri hadits sampai pada sumber asalnya itu tidak semudah menelusuri ayat-ayat al-qur’an yang hanya cukup dengan menggunakan sebuah kitab kamus al-qur’an, seperti muj’am al-mufahras li al-fadhil qur’an al-karim karya Muhammad Fuad ‘Abdul Baqiy. Akan tetapi untuk menelusuri hadits tidak hanya cukup satu kitab koleksi, tetapi dari berbagai kitab koleksi hadits lainnya. Hal ini terjadi mengingat banyaknya para kolektor yang telah membuat kitab koleksi mereka masing-masing, sehingga menjadi penyebab sulitnya hadits ditelusuri sampai pada sumber asalnya lantaran terhimpun dalam banyak kitab. Sekalipun demikian, kegiatan takhrij tetap harus dilakukan dengan cara memahami lbih dahulu metode penggunaan kitab-kitab kamus al-hadis, seperti kitab: mu’jamu al-mufahris li al-fadhil al-ahadits karya A.J. Wensinch, ushul al-takhrij wa al-dirasal al-asanid karya DR. Mahmud Thahhan, dan kitab cara praktis mencari hadits karya DR. M. Syuhudi Ismail dan lainnya.
· Macam-macam metode yang dipakai dalam takhrij hadits ialah:
a.Takhrij al-hadits bi al-lafdhiy (menelusuri hadits melalui lafal atau tekstual), maksudnya ialah matan hadits yang akan diteliti itu hanya diketahui sebagian matannya. Jika demikian yang harus dilakukan seorang peneliti adalah pencarian matan hadits secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan melalui kosa kata dari susunan kalmat pada matan, misalnya saja matan hadits yang diingat adalahمَنْ رَاٌى مِنْكُم مُنْكِرًاَ, maka yan harus dilakukan adalah:
1.Mencari modal awal, misalnya kata مُنْكِرًاsaja, sudah dapat ditelusuri melalui halaman kamus yang memuat lafal نَكَرَ, lalu dicari kata مُنْكِرًا, sehingga dari kamus itu diperoleh petunjuk bahwa hadits yang sedang diteliti itu memiliki sumber kitab yang sangat banyak[5], yaitu:
Shahih Muslim, dalam kitab Imam, Hadits nomor 78.
Sunan Abi Dawud, Kitab Shalat, Hadits No 242 dan kitab Malahim bab 17.
Sunan al-Tirmidzi, kitab Fitan, bab 11.
Sunan al-Nasa’iy, kitab Iman, bab 17.
Sunan Ibnu Majah, kitsb Iqomah, bab 15 dan kitab Finan, bab 20.
Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, Juz: III, hal. 10, 20, 49 dan 52-53.
b.Mencari semua kata yang termuat di dalam matan masing-masing kitab, mengingat redaksinya banyak. Hal ini dimungkinkan ada penambahan kalimat dalam satu matan, misalnya menelusuri kata:
1. Kata قَلْبٌ ditemukan didalam Musnad Ahmad ditemukan adanya tambahan dalam juz III, hal. 92.
2.Kata رَأَى, data yang tercantum dalam kamus terdapat banyak kesalahan.
3.Kata يغير, يَدُهُ dan لِسَانُهُ data yang ditemukan dalam kamus justru kurang lengkap.
Berdasarkan dari data kitab mu’jam tersebut, ternyata jumlah perawi untuk hadits yang ditakhrij tersebut berjumlah 14 macam, masing-masing terdapat pada kitab:
1.Shahih Muslim, dua periwayat, pada juz I, hal. 69.
2.Sunan Abi Dawud, dua periwayat, juz I, hal. 297 dan juz IV, hal. 123.
3.Sunan al-Turmudziy, satu periwayat, juz III, hal. 317-318.
4.Sunan al-Nasa’iy, dua periwayat, juz VIII, hal. 111-112.
5.Sunan Ibnu Majah, dua periwayat, juz I, hal. 406 dan juzII, hal. 1330.
6.Musnad Ahmad, lima periwayat, juz III, hal. 10, 20, 49, 52-53 dan 92.
c.Kemudian semua perawi hadits dari masing-masing kitab dicatat secara cermat, baik matarantai sanad maupun matannya, sehingga ditemukan mana yang ada pendukungnya dan mana yang tidak, baik berupa syahid maupun mutabi’.
Takhrij al-hadits bi al-Maudhu’ (menelusuri hadits melalui topic masalah). Maksudnya ialah hadits yang akan diteliti itu tidak terikat pada bunyi lafal hadits, tetapi berasarkan topik masalah, seperti tentang nikah mut’ah dan nikah wali hakim yang walinya mengakadnikahkan dan lain sebagainya.
Jika demikian, maka kitab yang diperlukan untuk penelitian ini adalah kitab-kitab kamus yang disusun berdasarkan topik, diantaranya ialah مِفْتَاٌحٌ كُنُوْزِ السُّنَّةِ, sebab kitab yang menjadi rujukannya sebanyak 14 macam kitab, yaitu disamping rujukan kitab kamus mu’jam, ditambah dengan Musnad Zaid bin Ali dan Musnad Abi Dawud al-tayalisi, Thabaqah Ibnu Sa’ad dan Sirah ibn Hisyam, Magazi al-Waqidi.
Takhrij sebagai metode untuk menentukan kehujahan hadist itu terbagi kedalam 3 kegiatan, yakni (1) Naql, (2) Tashhih, (3) I’tibar:
1. Takhrij Naql atau Akhdzu.
Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran penukilan dan pengambilan hadist dari beberapa kitab/diwan hadist (mashadir al-asliyah), sehingga dapat teridentifikasi hadist-hadist tertentu yg dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing. Berbagai cara pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh para ahli hadist, diantaranya yg dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan yg menyebutkan 5 tekhnik dalam menggunakan metode takhrij sebagai al-Naql sbb :
a. Takhrij dengan mengetahui shahabat yg meriwayatkan hadist.
b. Takhrij dengan mengetahui lafazh asal matan hadist.
c. Takhrij dengan cara mengetahui lafazh matan hadist yg kurang dikenal.
d. Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadist.
e. Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadist.
a. Metode takhrij / al-Naql melalui pengetahuan tentang nama shahabat perawi hadist.
Metode ini hanya digunakan bilamana nama shahabat itu tercantum pd hadist yg akan ditakhrij. Apabila nama sahahabat tersebut tidak tercantum dalam hadist itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat dipakai.
Apabila nama shahabat tercantum pada hadist tersebut, atau tidak tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dapat digunakan 3 macam kitab, yaitu :
(1) kitab-kitab musnad, (2) kitab-kitab mu’jam, dan (3) kitab-kitab Athraf. Kitab-kitab musnad adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan nama shahabat, atau hadist-hadist para shahabat dikumpulkan secara tersendiri. Kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ahli hadist itu sangatlah banyak, sebagian diantaranya sebagai berikut :
a.Musnad Ahmad bin Hanbal.
b.Musnad Abu Baqr Sulaiman ibn Dawud al-Thayalisi.
c. Musnad Ubaidillah, dll.
Kitab Mu’jam adalah kitab yg ditulis menurut nama-nama shahabat, guru, negeri atau yg lainnya, yg nama-nama tsb diurutkan secara alfabetis. Kitab-kitab tersebut diantaranya :
a. Mu’jam al-Shahabah li Ahmad ibn al-Hamdani.
b. Mu’jam al-Shahabah li abi Ya’la Ahmad ‘Ali al-Mashili, dan lain-lain.
2.Kitab Athraf adalah kitab yg penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadist yg menunjukan keseluruhannya. Kemudian sanad-sanadnya, baik secara keseluruhan atau dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu. Yang mana kitab ini biasanya mengikuti musnad shahabat. Kitab-kitab Athraf itu diantaranya adalah :
a.Athraf al-Shahihain li Abi Mas’ud Ibrahim Ibn Muhamad al-Dimasyiqi.
b.Athraf al-Shahihain li Abi Muhamad Khalaf ibn Muhamad al-Wasithi, dll.
Manfaat dari kitab-kitab Athraf adalah :
1. Menerangkan berbagai sanad secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apaka hadist itu gharib, aziz, atau masyhur.
2. Memberitahu perihal siapa saja yg diantara para penyusun kitab-kitab hadist yg meriwayatkan dan dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
3. Memberitakan tentang berapa jumlah dalam kitab-kitab yg dibuat athrafnya.
Dalam kitab-kitab Athraf hanya diterangkan perihal sebagian matan hadist saja, maka untuk mengetahui lebih lengkap perlu merujuk pada kitab-kitab sumber yg populer, yg ditunjukan oleh kitab Athraf tersebut.
1.Kitab-kitab hadist yang disusun untuk hadist-hadist yg popular dimasyarakat diantaranya:
a.Al-Tadzkirah fi Ahadist al-musyitahirah li al-Zarkasyi.
a.Al-Tadzkirah fi Ahadist al-musyitahirah li al-Zarkasyi.
b.Al-Darur al-Muntatsirah fi Ahadist al-Mustahirah li al-Suyuti, dll.
2.Kitab yg disusun secara alfabetis, antara lain : Al-Jami’ al’Shadhir min hadist al-Basyir al-Nadhir Li Jalal al-Din ‘Abdurahman Abi Bakr al-Suyuthi.
3.Kitab-kitab kunci atau indeks bagi kitab-kitab tertentu antara lain :
a.Miftah al-Shahihain li al-Tauqadi.
b.Miftah li Ahadist Muwatha’ Malik, dll.
c.Metode Takhrij /al-Naql melalui pengetahuan salah satu lafazh Hadist.
Metode ini hanya menggunakan satu kitab penunjuk saja, yaitu : “Al-Mu’jam al-Mufarhas li alfazh al-Hadist al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis barat yang bernama Dr.A.J. Wensink, Dr.Muhamad Fuad ‘Abd al-Baqi, dll.
Kitab-kitab yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya : Shahih Bukhari, shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi. Yang mana masing-masing mempunyai kode tersendiri.
c. Metode Takhrij /al-Naql melalui pengetahuan tema hadist.
Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadist. Orang yang awam akan hadist akan sulit untuk menggunakan metode ini. Karena yg dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadist yang akan ditakhrijkan. Baru kemudian kita membuka kitab hadist pada bab dan kitab yang mengandung tema tersebut.
Adapun kitab-kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab-kitab yg disusun secara tematis. Serta kitab-kitab ini dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu :
1. Kitab-kitab yang berisi seluruh tema Agama, diantaranya :
a. Al-Jami’ al-Shahih Li al-Bukhari.
b. Al-Jami’ al-Shahih Li Muslim.
c. Mustakhraj al-Ismaili, dll.
2. Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak tema-tema Agama, seperti kitab Sunan, yaitu :
a. Sunan Abi Dawud Li Sulaiman Ibn al-Asy’ats al-Sijistan.
b. Al-Muwatha’Li al-Imam Malik Ibn Anas al-Madani. Dll.
3. Kitab yang hanya berisi satu tema Agama saja, sebagai contoh :
a.Al-Ahkam Li’Abd al-Ghani ibn ‘Abd al-Wahid al-Muqdisi, dll.
b.Metode Takhrij melalui Pengetahuan tentang sifat khusus matan atau sanad hadist.
Yang dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan-keadaan dan sifat hadist yg baik yang ada pada matan dan sanadnya. Yang pertama diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan, kemudian yang ada pada sanad lalu kemudian yang ada pada kedua-duanya. Dari segi matan: apabila pada hadits itu tampak tanda-tanda kemaudhuan , maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadits itu adalah mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits maudhu. Dalam kitab ini ada yang disusun secara alfabetis antara lain kitab al-mashnu’al-hadits al-maudhu’ li al syaikh ‘alal qori al-syari’ah. Dan ada yang secara matematis, antara lain kitab tanzih al-syari’ah al-marfu’ah ‘an al-ahadits al-syafiah al-maudhu’ah li al kanani. Dari segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadits ada cirri tertentu, misalnya isnad hadits itu mursal, maka hadits itu dapat dicari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mursal., atau mungkin ada seorang perowi yang lemah dalam sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab mizan al-I’tidal li al- dzahahi.
Dari segi matan dan sanad : ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits semacam itu, yaitu:
•‘ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi
•‘ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi
•Al-mustafad min mubhamat al-matn wa al-isnad li abi zar’ah ahmad ibn al-rahim al-iraqi
2. Takhrij Tashhih
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama di atas, yang menggunakan pendekatan takhrij dan al-naql. Tashhih dalam arti menganalisis keshohihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah. Kegiatan tashih dilakukan dengan menggunakn kitab ‘Ulum al-Hadits yang berkaitan dengan Rijal, Jarh wa al-Ta’dil, Ma’an al Hadits, Gharib al-Hadits dan lain-lain. Kegiatatn ini dilakukan oleh mudawwin ( kolektor) sejak nabi saw sampai abad III Hijriyyah, dan dilakukan o;eh para syarih (komentator) sejak abad IV sampai kini.
3. Takhrij I’tibar.
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas, I’tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan kitab Fan yang memuat dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang perlu ditempuh dalam studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
1.Dilihat apakah teks hadits tersenur benar-benar sebagai hadits.
2. Dikenal unsur yang harus ada pada hadits, berupa rawi, sanad dan matan.
3. Termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawinya, matanya dan sanadnya.
4. Bagaimana kualitas hadits tersebut
5. Bila hadits itu maqbul, bagaimana ta’amulnya, apakah ma’mul bih (dapat diamalkan) atau ghoir ma’,ul bih
6. Teks hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
7. Memahami asbab wurud hadits.
8. Apa isi kandungan hadis tersebut.
9. Menganalisis problematika.
2.4. MANFAAT TAKHRIJ HADITS
Dalam proses penelitian hadits, takhrij merupakan kegiatan penting yang tidak boleh diabaikan.
Tanpa melakukan kegiatan takhrij, seorang peneliti hadits akan kehilangan wawasan untuk mengetahui eksistensi hadits dari berbagai sisi. Sisi-sisi penting yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti hadits dalam hubungannya dengan takhrij ini meliputi kajian asal-usul riwayat suatu hadits, berbagai riwayat yang meriwayatkan hadits itu, ada atau tidak adanya coroboration (syahid dan muttabi')dalam sanad hadits yang diteliti. Dengan demikian, manfaat takhrij al-hadits pada dasarnya adalah:
1.Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang diteliti.
2.Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang diteliti.
3.Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau muttabi' pada sanad yang diteliti.
4.Adanya syahid dan atau muttabi' yang kuat dapat memperkuat sanad yang diteliti.
5. Dapat mengetahui keadaan hadis sebagai mana yang dikehendaki atau
yang ingin di capai pada tujuan pokok di atas.
6. Dapat mengetahui keadaan sanad hadis dan silsilahnya berapapun
banyaknya, apakah sanad-sanad itu bersambung atau tidak.
7. Dapat meningkatkan kualitas suatu hadis dariDha’if menjadiHasankarena ditemukannya Syahid atauMu’tabi.
4. Dapat mengetahui bagaimana pandangan para ulama terhadap keshahihan
suatu hadis.
5. Dapat membedakan mana paraperawi yang ditinggalkan atau yang
dipakai.
7. Dapat menetapkanMuttashil kepada hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan Adat At-Tahammul Wa Al-a-da’ (kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan periayatan hadis) dengan an’anah (kata-kata an/dari).
8. Dapat memastikan identitas para perawi, baik berkaitan dengankun-yah
(julukan), laqab (gelar), atau nasab (keturunan), dengan nama yang jelas.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Takhrij dalam bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-istinbath yang artinya mengeluarkan, al-tadrib yang artinya melatih atau pembiasaan dan al-tarjih yang artinya menghadap.
Kata takhrij berarti ikhraj al- ahadits min buthuni al-kutub wa riwayatuh (mengeluarkan sejumlah hadis dari kandungan kitab-kitabnya dan meriwayatkannya kembali).
Kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana ada syahid dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat denga mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.
Takhrij sebagai metode untuk menentukan kehujahan hadist itu terbagi kedalam 3 kegiatan, yakni (1) Naql, (2) Tashhih, (3) I’tibar:
1. Takhrij Naql atau Akhdzu yakni Takhrij dalam bentuk kegiatannya berupa penelusuran penukilan dan pengambilan hadist dari beberapa kitab/diwan hadist (mashadir al-asliyah), sehingga dapat teridentifikasi hadist-hadist tertentu yg dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing.
2. Takhrij Tashhih yakni sebagai cara lanjutan dari cara yang pertama di atas, yang menggunakan pendekatan takhrij dan al-naql. Tashhih dalam arti menganalisis keshohihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah.
3. Takhrij I’tibar, cara ini sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas, I’tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan kitab Fan yang memuat dalil-dalil hadits.
4. Tanpa melakukan kegiatan takhrij, seorang peneliti hadits akan kehilangan wawasan untuk mengetahui eksistensi hadits dari berbagai sisi. Sisi-sisi penting yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti hadits dalam hubungannya dengan takhrij ini meliputi kajian asal-usul riwayat suatu hadits, berbagai riwayat yang meriwayatkan hadits itu, ada atau tidak adanya coroboration (syahid dan muttabi') dalam sanad hadits yang diteliti.
Dengan demikian, manfaat takhrij al-hadits pada dasarnya adalah antara lain: Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang diteliti, untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang diteliti, untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau muttabi' pada sanad yang diteliti, adanya syahid dan atau muttabi' yang kuat dapat memperkuat sanad yang diteliti, dapat mengetahui keadaan hadis sebagai mana yang dikehendaki atau yang ingin di capai pada tujuan pokok di atas.
[1]Muhammad ma’shum zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, Jombang: Al-Syarifah al-Khodijah, 2007. Hal. 280
[3]Agus Solahudin, dkk. Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2008. Hal. 190
[4]Makanya jika syahid didukung oleh sanad yang kuat, dapat memperkuat sanad yang sedang diteliti, begitu juga mutabi’ yang memiliki sanad kuat, hadits yang sedang diteliti dapat ditingkatkan kekuatannya oleh mutabi’.
[5]AJ. Wensick, al-Mu’jam al-Fahras Li al-fadz al-Hadits al-nabawi, Juz: VI, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, (Leiden, EJ. Brill, 1936), hal: 558
0 komentar:
Posting Komentar